All this talk about equality. The only thing people really have in common is that they are all going to die.
Ramadan yang Terselip dalam Ingatan
Selalu ada kenangan khas dari Ramadan sepanjang perjalanan manusia di Indonesia.
Mau dia muslim atau bukan, harus diakui atmosfir bulan yang dianggap suci oleh umat Islam itu terasa berbeda dari 11 bulan lainnya.
Meskipun ada sebagian yang merasa bahwa tiap tahun ada semacam penurunan gairah menjalani Ramadan, tetap saja Ramadan adalah Ramadan.
Kehadiran bulan ini terasa mengejutkan bagi sebagian orang akibat tekanan dan desakan rutinitas harian.
Tak heran dan tidak berlebihan pula jika ada pernyataan klise seperti "tak terasa sudah bertemu Ramadan lagi".
Entah kalimat itu jujur atau tidak dari si pengucap/penulis, bagi saya bodo amat.
Ramadan adalah Ramadan. Yang kehadirannya bisa lumayan mengejutkan.
Seperti plesetan penggalan lirik lagunya; "Ramadan tiba, Ramadan tiba. Tiba-tiba Ramadan, tiba-tiba Ramadan".
Lalu, besoknya sudah tiba-tiba Lebaran.
Ramadan akan selalu terselip dalam lipatan ingatan manusia Indonesia. Sedari kecil ketika sudah memiliki kemampuan mengingat, hingga usia puluhan tahun atau telah berkeluarga.
Samar-samar bayangan di masa kecil saat serunya mendengar orang-orang bersahutan membangunkan sahur dengan kentongan atau bedug.
Berisik? Tentu saja, bagi saya yang waktu itu masih balita dan akhirnya terbangun.
Oleh bapak, saya diajak ke luar rumah. Duduk di teras, tepat di pinggiran jalan, jalur lintasan rombongan tersebut.
Di kampung halaman saya, tradisi itu disebut "thethek", alias membunyikan kentongan (atau benda keras lainnya) dengan tujuan membangunkan warga agar segera bersantap sahur.
Dalam lipatan ingatan yang lain, sayup-sayup terngiang suara azan Maghrib dari masjid di dekat rumah saya.
Sebuah masjid kampung yang waktu itu sebagian bangunannya masih berdinding kayu dan tampak sempit.
Suara azan satu-satunya dari masjid di pinggir jalan, bersahutan dengan suara azan dari radio yang saya setel di rumah.
Entah perasaan semacam apa, tapi rasanya seru juga menunggu azan lalu lari ke dalam rumah mencari segelas air atau langsung bersantap.
Dalam lipatan ingatan Ramadan di awal 90-an itu, momen-momen tersebut saya jalani sendirian.
Bahkan, saya tak pernah ingat dengan pasti. Apakah setelah "berbuka" itu saya segera berangkat ke masjid yang jaraknya cuma 20 langkah.
Begitu pula, saya tak pernah ingat dengan yakin apakah di masa kecil pernah dalam sehari saja menjalankan puasa dengan utuh.
Satu ingatan yang pasti dan sampai hari ini terkenang:
Suatu pagi di bulan Ramadan yang sangat lengang karena sudah masuk masa libur sekolah.
Usai bermain kejar-kejaran dengan teman SD yang tinggal di ujung gang, saya pulang ke rumah.
Di sana, bapak bertanya apakah saya lapar. Saya pun mengangguk. Tak berapa lama, sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk pun tersedia di meja.
Disiapkan oleh bapak sendiri, sarapan itu terasa sangat nikmat di bulan Ramadan.***