Tradisi Masyarakat "Serawai" Bakar Tempurung Kelapa pada Malam 27 Ramadan, Apa Maknanya?
Kemudian tempurung-tempurung tersebut diberi lobang agar dapat dengan mudah disusun di sebuah tonggak atau tajar kayu yang sudah disiapkan, dengan ketinggian 1,5 -2 meter dan ini dibuat sehari atau dua hari sebelum malam 27 ramadan.
Lokasi pemasangan tonggak/tajar biasanya di halaman depan rumah masing-masing, dan bagi yang memiliki stok tempurung cukup banyak maka mereka akan membuat lebih dari satu.
Tempurung mulai dibakar dari bagian atas dan akan terus merambat kebawah pada waktu maghrib tanggal 26 ramadan, sehingga kondisi depan rumah kelihatan terang dan bersinar cukup lama, tergantung panjang pendeknya tonggak atau tajar karangan tempurungnya.
Apa maknanya?
Tradisi ini erat kaitannya dengan adanya satu malam yang istimewa yang terjadi selama bulan ramadan yaitu Lailatul qadar.
Merujuk kepada hadist-hadist yang sohe bahwa malam Lailatul qadar terdapat pada 10 malam di akhir bulan ramadan serta ditegaskan lagi pada malam-malam ganjil dan masih dari rujukan hadist diyakini pada malam 27 ramadan.
Oleh karena itu untuk menyambut turunnya malam yang lebih baik dari beribadah 1000 bulan itu beserta para malaikat maka untuk memudahkan " jalannya "diadakan "lampu" penerangan.
Terlepas dari keyakinan itu, bahwa tradisi ini diera dulu banyak dampak positifnya, karena belum adanya penerangan listrik maka malam itu suasana lingkungan nampak terang bersinar dan memudahkan masyarakat untuk keluar rumah.
Disamping itu " bara api " tempurung yang dibakar tersebut oleh muda mudi diera dulu. dimanfaatkan untuk menyeterika pakaian yang nanti akan dikenakan pada hari lebaran, tak heran bila malam itu disetiap rumah ada yang menyeterika (menggosok) pakaian kesayangannya.
Juga lingkungan disekitar tempat tinggal masyarakat terbebas dengan limbah tempurung kelapa yang berserakan, karena pohon kelapa relatif banyak dan umumnya penduduk " serawai " senang makan gulai bersantan.
Majulah kita semua. # BN