Casmudi
Casmudi Full Time Blogger

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Wanita Cantik Penjaga Pintu

30 Mei 2018   02:20 Diperbarui: 30 Mei 2018   03:02 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wanita Cantik Penjaga Pintu
Ilustrasi (Sumber: slideshare.net/diolah)

Tidak terhitung jumlahnya air mata jatuh membasahi pipiku.  Kata orang, wajahku seperti artis cantik India, Preity Zinta. Makin cantik saat menangis. Cocok sekali dengan namaku, Zinta Prita Mayasari. Tapi, aku bukan menangis bahagia. Melainkan, menangisi  kepergian orang yang paling aku sayangi.

Kecantikanku tak mampu menahan kedua kakiku yang lunglai tak berdaya. Aku bersimpuh di hadapan tubuh yang kini terbujur kaku. Kain warna hijau yang bertuliskan "Laailahailallah, Muhammadarrosulullah" memaksaku untuk membuka tirai wajahnya yang sayu, pucat dan diam membisu. Dan, tiap kali membuka kain yang menutup wajahnya yang cantik, saat itu juga air mataku tak tertahankan membasahi pipi.

"Ibuuu, mengapa engkau tega meninggalkan aku" suaraku hampir terdengar seisi ruangan di mana banyak pelayat berdesak-desakkan memenuhi bagian depan rumahku.

Aku tertunduk lesu kembali menatap wajahnya yang tertutup kain hijau. Sepertinya tidak mau beranjak dari tempat itu. Dan, sepertinya air mata sudah habis untuk menandingi kesedihanku.

"Zinta, yang sabar ya. Hentikan tangismu itu. Biarlah ibumu pulang ke rumah-NYA dengan damai" kata ibu yang duduk di sampingku.

Wajahnya cantik dan tak berbeda dengan orang yang terkujur di depanku. Erna, ibu muda cantik yang merupakan adik ibuku berusaha untuk menenangkan kesedihanku. Dia menghiburku agar kesedihanku jangan berlarut-larut.

"Zinta, percayalah tangisanmu tak mampu membawa ibumu hidup kembali. Relakan beliau kembali ke jalan yang indah. Do'akanlah beliau agar tenang di sisi-NYA" sambung seorang bapak muda yang berkusmis tipis menyambung pembicaraan kami. Dia adalah Pak Sandi, istri dari ibu Erna yang tiada lain adalah pamanku.

Aku masih menahan air mata dan berkali-kali mengusapnya untuk menghilangkan karut marut pikiranku. Membayangkan kembali hidup seperti anak yatim piatu setelah ayah hilang tanpa bekas 3 tahun lalu, sejak aku kelas 2 SMA.

Perawakan ayah yang tinggi dan ganteng telah menghancurkan keceriaanku. Selama ini aku berusaha tegar hidup tanpa kasih sayang ayah. begitu pun ibu. Sosok ibu yang selalu tegar dan berusaha tersenyum kapan pun di depanku, anak semata wayang. Ibu yang selalu berdiri depan pintu menunggu kedatangan ayah. Ibu mulai melupakan keberadaan ayah tetapi tidak dendam atas kehilangannya. Ibu selalu mendoakan ayah.

Kini, aku harus kehilangan orang yang paling saya sayangi. Orang yang selalu mengisi ruang hatiku. Memberikan semangat saat aku mau ujian sekolah. Memberikan motivasi agar aku menjadi orang yang berguna. Dan, selalu mendorongku suatu saat nanti bisa bertemu ayah jika Allah Berkehendak.

"Percayalah Zinta. Allah SWT sayang kita. Suatu saat kita akan dipertemukan. Kapan? Ya, kapan-kapan. Selama jiwa dan darah kita masih bergerak" kata ibu yang selalu aku balas dengan anggukan kepala pelan. Aku masih melihat kegelisahan di muka ibu setiap ibu teringat ayah.

Tapi, kini harapan ibu untuk bertemu ayah tinggal kenangan. Dan, mungkin ibulah yang duluan menuju Sang Maha Pencipta. Dan, tubuh yang terbujur kaku selalu memaksaku untuk menjerit lagi. Kata bibiku, aku mengalami pingsan di rumah sakit selama 5 jam karena lenganku banyak mengeluarkan darah akibat sabetan golok yang panjangnya sebesar lengan dewasa.

Jika ingat kejadian itu, aku benar-benar trauma. Semalam, sehabis sholat maghrib, aku harus berjuang mati-matian memperebutkan tas yang saya pakai. Berusaha untuk mempertahankan barang berharga berupa emas dan uang yang barusan di beli dari sebuah toko emas sebagai rasa suka cita menyambut hari raya Idul Fitri nanti.

Nasib naas menimpa ibu, saat ibu ikut membantu perkelahian aku dengan 2 orang perampok bersepeda motor.  Ibu harus meregang nyawa saat 3 kali bacokan golok mengenai kepala bagian depannya. Ibu ambruk seketika.

Aku berusaha menyerang kedua perampok membabi buta dengan helm yang aku kenakan. Tetapi, aku harus menanggung rasa sakit yang luar biasa saat darah segar mengucur deras dari lengan kananku karena terkena sabetan golok. Perampok melarkan diri gagal mendapatkan incarannya dan aku pingsan tidak ingat apa-apa lagi.  Tahu-tahu sudah ada di rumah sakit.

Orang-orang yang berada di tempat kejadian perampokan sekitar pasar besar Ngawi menjadi penolong ketika saya ambruk tak berdaya dan ibu meregang nyawa seketika. Andaikata waktu itu ibu tak berbelok arah untuk berbelanja di pasar besar Ngawi, mungkin nasib aku tidak seperti ini. Karena, kami yang mengendarai sepeda motor sebenarnya hendak pulang langsung ke rumah. Tetapi, ibu mendadak untuk berbelanja sesuatu di pasar besar Ngawi dan perampok telah membututi kami sejak dari toko emas.

"Zinta, kita belum sempat belanja kue lebaran. tak lengkap rasanya jika ketidakhadiran ayah selama hampir 3 tahun tanpa membeli kue nastar kesukaan ayah" kata ibu.

"Kan, nggak perlu beli lagi ibu. Di rumah masih ada kue lain " kataku.

"Benar Zinta. Tetapi, dengan membeli kue nastar kesukaan ayah, semoga ayah tetap hadir saat lebaran nanti"

"Emang ayah sekarang di mana bu"

"Ibu juga tidak tahu. Ibu sudah beberapa kali mencari ayah, tetapi tidak menemukan jejak. Tetapi, dulu ayah pernah pergi ke Malang"

"Jadi ayah ke Malang bu"

"Dulu Zinta, tiga tahun lalu. Tapi sekarang, ibu tidak tahu sama sekali. Ibu sudah mencoba mencari jejaknya tapi tidak menemukannya. Ibu sudah putus asa" katanya lirih. Tidak terasa air mata membasahi pipi ibu. Aku berusaha mengusapnya. Dan, usapan air mata itu ternyata saat terakhir aku begitu memanjakan ibu.  Orang yang paling berharga mengisi hidupku kini terbujur kaku tak berdaya menunggu saat pemandian jenazah dan pemakaman.

***

Satu tahun kemudian.

Alhamdulillah, aku diterima kuliah di sebuah universitas swasta di Surabaya. Berbekal harta peninggalan almarhum ibu, aku beranikan menimba ilmu di ibukota Jawa Timur tersebut. Aku menyadari bahwa akulah yang membuat masa depanku.

Meninggalkan rumah di kampung halaman yang kini sunyi terasa berat. Memang, kini aku hidup sendiri di rumah karena tidak ada lagi teman yang bisa menemani. Untuk mengusir kesediahnku sepeninggal ibu, maka kuliah adalah jalan terbaik. Bisa bertemu teman-teman baru yang bisa diajak untuk bertukar cerita.

Tahun pertama, kulewati masa kuliah dengan sukacita karena biaya kuliah dan kebutuhan hidup sehari-hari masih bisa di-cover oleh bekal dari rumah. Aku berusaha untuk menghemat pengeluaran karena saya merasa tidak ada seorang pun yang bisa membantu kekuranganku. Kecuali aku sendiri.

Aku bekerja sampingan menjadi guru privat yang berpindah dari rumah ke rumah mengajarkan anak orang lain. Tetapi, pendapatanku masih belum mencukupi kebutuhan hidupku.

Tanpa disangka, pergaulan yang ada di sekelilingku membuatku risih. Gaya borju dan glamour teman kuliah yang tinggal dalam satu komplek kost-kostan membuatku tanda tanya. Teman cewek kuliahku selalu berpakaian mewah dan setiap senja berganti malam mulai sulit untuk ketemuan. Dan, aku pun menjadi penjaga kost-kostan saat senja berganti malam itu.

Tanpa sengaja di suatu senja, aku sempat melihat dari balik tirai jendela di mana teman kuliahku Winda dan Yesi memakai baju seksi dengan dandanan yang menor dan lipstik tebal memasuki sebuah mobil mewah. Aku tanpa berpikir negatif karena mereka memang melakukan profesi sampingan sebagai penyanyi kafe di sela-sela tugas kuliah.

Mereka berdua hidup berkecukupan dan selalu mentraktir aku di restoran mewah.

"Gila, dapat duit dari mana kalian ya" kataku setiap ngumpul di sebuah kafe.

Aku jadi penasaran. Kebetulan, kebutuhan kuliah mulai mencekik leher. Jalan satu-satunya, aku bisa minta  bantuan pada temanku yang tidak pernah merasa kekurangan uang.

"Win, Yes, aku penasaran banget nih. Ngomong-ngomong kalian kerja sampingan di mana lagi, sih. Kok, kayaknya hepi banget. Aku yang lagi kelimpungan, nih. Mungkin bisa kasih bocoran" tanyaku saat ngumpul di sebuah kafe sehabis kuliah.

"Mau tahu aja atau mau tahu banget" kata Winda sambil tersenyum dan mengedipkan mata kanan ke arah Yesi.

"Ya, Win. Paling-paling Zinta gak bakalan mau apa yang kita lakuin. Ya kan"  kata Yesi meyakinkan.

"Benar Yes, lagian dia cantik banget. Nanti jadi saingan dan merampas  rejeki kita. Ha ha ha " jawab Winda.

"Ihh, kalian pelit banget.  Bagi rejeki dong Yes. Swear, lagi butuh duit nih buat kebutuhan kuliah" tanyaku penasaran. 

"Sebenarnya saya gak mau melibatkan kamu Zin, Biarlah kami berdua yang menjalankannya. Tapi, jika kamu memaksaku untuk memberi tahu maka kamu gak usah kaget ya" mereka bertiga berangkulan. Tanpa sadar Winda dan Yesi meneteskan air mata. Aku pun kebingungan dengan keadaan tersebut.

"Sebenarnya ada apa sih Win, Yes, kok malah kalian menangis" Tanya aku. 

"Zinta, kami akan jawab dengan jujur. Tapi, tolong kamu tidak usah kaget ya" jawab Winda meyakinkan kembali.

"Kami bekerja sampingan sebagai call girl, gadis panggilan om-om, Zinta" bisik Yesi di telingaku.

Bagai disambar petir, aku terkesiap dan melongo kaget. Tetapi, kusimpan rasa kaget tersebut untuk menghormati 2 temanku yang sudah jujur berbagi cerita mengatakan profesi yang kini dilakoninya.

"Ya, Zin. profesi itu menggiurkan dan bisa membantu kamu untuk memenuhi kebutuhan kuliah. Kami tidak memaksamu. Tetapi, jika kamu mau, akan saya pertemukan om-om yang berduit nanti malam"  jawab  Winda sambil mengusap air mata haru.

Kini, karena tuntutan kebutuhan kuliah, aku memaksakan diri untuk menjadi call girl (gadis panggilan) yang melayani om-om berduit alias tajir. Sudah 3 bulan, aku melakoni profesi ini. Awalnya canggung, tapi kelamaan hepi dan bikin betah. Betapa tidak banyak lelaki hidung belang yang berusaha membookingku dengan bayaran yang tinggi.

"Andaikata kau mau menjadi istriku, Zin, aku begitu bahagia" ucap Om Harno setelah memakai jasaku.

"Maaf om, aku hanyalah wanita murahan yang tak pantas menjadi istri siapapun, Aku hanya seorang wanita yang bisa memberikan kebahagiaan dalam waktu sesaat" jawabku.

"Tidak, Zin. Jika kamu mau menjadi istriku, biarlah istriku saya ceraikan besok harI" kata om Harno yang merupakan miliarder pengusaha batubara di Kalimantan Timur.

"Tidak, om. aku hanya mampu memberikan kepuasan om malam ini dan besok-besok kalau tidak ada yang membookingku"

"Mau gak, saya booking kamu selama sebulan?" jawab Om Harno kembali.

"Jangan, om biarlah teman saya Winda dan Yesi juga bisa menemanimu om. Kasihan dia. karena, saya kenal om dari mereka" jawabku meyakinkan.

Hidupku kini bertabur dengan gelimang harta. Aku pun tidak sempat lagi menengok keadaan rumahku di kampung halaman, Ngawi.  Profesi baruku telah membutakan urusan agama. Aku mulai melupakan masjid, menyimpan rapat-rapat dalam lemari buat Al-Quran yang sering kulantunkan saat senja berganti malam. Saat aku rindu sosok ibu dan kangen kehangatan ayah.

Untuk melepaskan diri dari jeratan profesi baruku sepertinya tak mampu. Bahkan, di malam Lailatul Qodar Ramadhan ini, aku dibooking oleh Om Hadi yang katanya seorang pengusaha transportasi dan building material ternama di Surabaya.

Om Hadi, yang menurut Winda dan Yesi adalah pelanggan yang baik hati. Pelanggan yang selalu memanjakan mereka. Suka membeli keinginan mereka. Konon, katanya masih hidup sendiri. Alasannya, agar bisa hidup bebas menikmati dunia.

Om Hadi, nama yang familiar di telingaku. Ya, seperti nama ayahku yang hilang jejak 3 tahun silam. Bedanya, ayah dulu hilang tidak membawa apapun. Aku pikir, mungkin ayah sudah meninggal dunia. Lamunanku mengarah pesan ayah saat meninggalkanku terakhir kali.

"Zinta, belajar yang rajin ya nduk, Jadilah manusia yang berguna, sayang ibu dan sayang ayah. Ayah pergi dulu ya. Ayah pasti kembali" kata ayah waktu itu.

Pukul  9 malam, waktu yang dijanjikan Om Hadi untuk bertemu aku. Dari pukul 8 aku sudah menunggu Om Hadi di sebuah kamar hotel bintang lima di Surabaya. Aku menunggu kedatangan Om Hadi yang kata Winda dan Yesi, orangnya ganteng dan baik hati.

Menunggu satu jam di kamar hotel sepertinya lama sekali. Ya, saya membayangkan dibawa Om Hadi dibelikan barang mewah dan dimanja seperti ayah dulu memanjakanku. Saya sering bolak balik dari ranjang ke pintu untuk menemui pelangganku, Om Hadi. Aku bagai wanita penjaga pintu malam itu.

2 menit menjelang pukul 9 malam, pintu hotel diketuk. Aku merapikan dandananku. Wajahku yang sudah tampak cantik pasti akan membuat terpesona Om Hadi. Ya, pasti om Hadi akan memberikanku uang lebih. Entah kenapa, malam ini sepertinya lain dengan malam-malam sebelumnya.  

Aku benar-benar ingin cepat bertemu dengan Om Hadi. Tepat, di malam ganjil di bulan Ramadhan adalah saat yang baik turunnya Lailatul Qadar. Tetapi, aku justru bersiap-siap membuat dosa. Dosa, yang membuatku ketagihan dengan limpahan harta duniawi.

Tepat pukul 9 malam, pintu hotel berbunyi. Aku sigap menuju pintu dan membuka pintu hotel dengan manja.  Saat kami bertemu muka, justru muka kaget dan pucat menghinggapi kami berdua. Om Hadi, yang kuharapkan malam ini memberikan kebahagian lebih justru membuat jantungku berdegup kencang.

"Ayahhh" kataku berucap tanpa sadar.

Aku malu tidak kepalang. Bukannya aku merangkul dengan manja, tetapi justru menangis berlari ke tempat tidur. Om Hadi pun terpaku diam di pintu tak berkata sepatah katapun.

Kini, orang yang berada di pintu diam membisu. Aku menangis sejadi-jadinya menutupi wajahku dengan bantal. Tanpa kusadari, Om Hadi adalah ayahku yang telah hilang selama lebih dari 3 tahun lamanya. Dan, kini bertemu dalam kondisi hendak membuat dosa. Ya, Allah ... aku malu sekali. Malu pada-MU, malu sama ayah, malu pada masa depanku.

Om Hadi pun kaget bukan kepalang. Tiada disangka, cewek bookingan yang akan memberikan kebahagiaan justru anak kandung sendiri yang 3 tahun tidak pernah bertemu muka. Dan, kini ia mau berbuat dosa. Ya, Allah. Dosa apa lagi yang hendak diperbuat.

Sebuah adegan sinetron, tanpa malu-malu, bapak dan anak yang tidak lama bertemu kini saling berangkulan erat.

"Ayah, maafkan Zinta yang telah berbuat dosa begini. Aku kangen kasih sayang ayah. Ayah, ibu telah tiada. Dan, ayah kini telah kembali di hadapanku" jawab aku sambil terisak-isak bagai anak kecil.

"Sama nduk. ayah juga minta maaf. Ayah berdosa sama ibu, sama kamu. Maafkan ayah. Ayah juga malu sama kamu" jawab Om Hadi sambil mengusap air mata Zinta.

"Ayah, Zinta ingin ayah kembali menemaniku"

"Pasti, nduk!"

"Sudahi perbuatan ini ayah. Zinta sudah punya segalanya dan mau berhenti dari profesi ini. Ayah adalah sosok yang Zinta rindukan!"

"Ayah berjanji tidak akan meninggalkan kamu lagi nduk. Pulanglah ke rumah ayah yang baru. Besok kita ke Ngawi untuk ziarah di makam ibumu" jawab Om Hadi.

'Alhamdulilah nduk. Mimpi apa ayah semalam. Bisa ketemu dengan bidadariku kembali" jawab om Hadi sambil mengusap air mataku dan mulai tersenyum manis memandangku.

"Zinta juga tidak menyangka, bisa ketemu ayah yang lama kurindukan" jawabku.

Bapak dan anak kini saling berangkulan kembali. Bukan antara pelanggan dan gadis panggilan.  Tetapi, antara anak dan ayahnya yang hilang 3 tahun lamanya. Malam Lailatul Qodar telah memberikan hikmah mempertemukan dua insan yang saling merindukan. Dan, mereka kembali ke jalan yang benar dan saling menyayangi. Wanita penjaga pintu telah bertemu dengan ayah yang menjadi pelanggan saat menjalani profesi lamanya. Sbuah hikmah di bulan Ramadhan, saat malam Lailatul Qodar menjadi harapan banyak manusia.  

Denpasar, 30 Mei 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun