Memutar Kembali Malcolm X, Menjawab Tantangan sebagai Agen Perubahan di Bulan Ramadan
Film bertema religi kadang memiliki nasib tragis. Dianggap pas untuk orang-orang yang menganut agama tertentu. Pasar film terkait agama hanyalah mereka yang meminatinya dan masuk kategori pemeluk teguh.
Hal ini bisa dipahami bila kita melihat sepak terjang agama dalam sejarah peradaban manusia. Agama masih dianggap sebagai isu sentral sehingga selalu menarik perhatian dunia dari masa ke masa.
Agama adalah subjek "seksi" dan sensitif yang tak pernah boleh dibicarakan sembarangan. Masing-masing agama dianggap memiliki kaveling masing-masing yang tak boleh bersentuhan, apalagi bersinggungan.
Bila menggunakan alur pemikiran ini maka membicarakan film bertema agama bisa menjadi masalah.
Banyak sutradara di seluruh dunia terus berjuang untuk menggarap aneka film bertema agama. Tujuannya tentu tidak untuk kepentingan komersial atau agitasi belaka.
Di baliknya, mereka coba mengirim pesan tertentu melalui perjuangan kreatif dan artistik untuk mengangkat kisah iman, renungan-renungan filosofis yang mendalam, berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadi perdebatan berabad-abad, hingga mencari makna melalui interpretasi yang selaras zaman.
Karena itu, sasaran film religi tidak semata-mata untuk penganut agama tertentu. Penonton religius bukanlah kaum yang lebih berhak memonopolinya.
Sama seperti seseorang yang menganut salah satu agama bisa menikmati film yang sama sekali tidak berkaitan dengan agama, begitu juga penonton bisa bebas menikmati film bertama agama apa pun untuk menemukan nilai di sana, entah hiburan, pengetahuan, hingga kepuasan emosional tertentu.
Apalagi tidak semua film religi dikupas secara terang benderang. Terkadang diramu secara halus, bahkan tidak menyinggung anasir agama sama sekali. Namun, memuat perjuangan kebaikan, keadilan, kesetaraan, dan cinta kasih yang sesungguhnya menjadi nilai yang diperjuangkan dan ditawarkan setiap agama.