cipto lelono
cipto lelono Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Bangun Sinergi Akal dan Jiwa, Wujudkan Takwa yang Bermakna di Bulan Puasa

5 April 2022   05:41 Diperbarui: 5 April 2022   17:22 1743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bangun Sinergi Akal dan Jiwa, Wujudkan Takwa yang Bermakna di Bulan Puasa
Takwa bukan sesuatu yang fiktif, namun adanya adalah ada. Takwa juga bukan hal yang abstrak, sebab dapat dilihat, diamati, dan dirasakan baik oleh dirinya maupun orang lain  (Foto oleh Photo by Pok Rie dari Pexels)

Takwa adalah mutiara puasa. Sebagai mutiara maka takwa adalah tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan ibadah puasa (khususnya).

Takwa bukan sesuatu yang fiktif, namun adanya adalah ada. Takwa juga bukan hal yang abstrak, namun indikasinya dapat dilihat, diamati, dan dirasakan baik oleh dirinya maupun orang lain.

Oleh sebab itu  dalam berpuasa kiranya juga perlu adanya usaha untuk menyingkap sinergitas antara akal dan jiwa. Sebab keduanya selain menjadi anugerah terbesar yang diberikan kepada manusia untuk membangun peradaban, juga mempunyai peran besar dalam memahami dan meletakkan segenap aktivitas ibadah (khususnya puasa) bukan saja pada caranya, namun juga pada fungsinya. Di dalam cara dan fungsi puasa tersebut terdapat pesona bagi yang berhasil memperolehnya.

Dimensi takwa

Takwa harus dipahami mempunyai dimensi vertikal dan horizontal. Vertikal ditandai adanya sikap jiwa (batin) seseorang meyakini Eksistensi Allah SWT (bahwa eksistensinya ada).

Horizontal adalah sikap seseorang dalam membangun kemaslahatan sesama umat ciptaan Allah SWT atas dasar kesepakatan (konsensus) bersama.

Maka seseorang disebut bertakwa apabila mampu mewujudkan hubungan dengan Allah SWT dan hubungan dengan sesama manusia secara 'berkualitas'. Konsep ini di dalam Islam disebut dengan (hablun minallah dan hablun minannas)

Apabila konsep takwa ini sudah disepakati, maka seseorang menjadi takwa harus mempunyai sinergitas antara akal dan jiwanya.

Ketika seseorang hanya berhasil membangun kemaslahatan sesama, tetapi tidak didasari dengan iman pada eksistensi Allah SWT, orang tersebut belum bisa disebut orang bertakwa. Jadi hanya bisa disebut orang yang baik, dermawan,dll. Sebab kebaikannya tidak didasari dengan keimanan.

Sebaliknya, seseorang mengakui adanya eksistensi Allah SWT, namun tidak mau berbuat untuk kemaslahatan sesama. Atau sulit bahkan tidak berkenan diajak membangun kemaslahatan, semestinya orang tersebut juga belum bisa disebut sebagai orang yang bertakwa.

Pendek kata takwa itu harus menyentuh dua dimensi secara lengkap dan terpadu yaitu dimensi ilahiah dan dimensi insaniah. Sehingga takwa itu bukan retorika, namun realita, takwa itu bukan ritual melainkan fungsional, takwa bukan hanya angan-angan namun dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh sebab itu apabila dijelaskan bahwa tujuan puasa itu agar menjadi orang yang bertakwa itu menjadi logis dan realistis. Wujudnya nanti terpancar dan dapat diamati  setelah seseorang selesai menjalankan puasa.

Akal dan Jiwa

Akal merupakan potensi kecerdasan yang diberikan oleh Allah SWT. Potensi itu menjadi sarana penting seseorang dalam memahami realitas kehidupan.

Akal juga menjadi investasi besar dalam upaya membangun peradaban. Akal menjadi sebab manusia dapat berpikir tentang sesuatu, memahami realitas kehidupan yang ada di alam raya seisinya.

Akal juga mengatur tindakan yang dilakukan manusia. Pengembangan akal inilah yang mendorong manusia berhasil membangun peradaban.

Oleh karena itu memahami takwa dengan akal akan menjadikan seseorang dapat menjabarkan aspek-aspek takwa dalam kehidupan nyata. Sehingga takwa tidak hanya berada dalam tataran teori dan konsep yang abstrak, namun dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata. Akal pulalah yang akan mendorong lahirnya pesona-pesona takwa.

Jiwa merupakan potensi rohaniah yang dapat mengarahkan seseorang berbuat baik atau buruk. Baik dan buruknya jiwa seseorang dipengaruhi oleh proses internalisasi nilai dan norma yang diserap. Proses itu bisa dipengaruhi tangkapan panca indera terhadap sesuatu yang ada di sekitarnya secara terus menerus.

Tangkapan tersebut jika bersifat positif akan mendorong jiwa bergerak menuju kebaikan. Jika yang terjadi sebaliknya, jiwapun juga akan terkotori.

Pada akhirnya jiwa mempengaruhi akal manusia. Baik dan buruknya jiwa akan berpengaruh pada akal manusia.

Oleh sebab itu langkah sinergi akal dan jiwa perlu dilakukan agar keduanya dapat menjadi sarana ideal memperoleh takwa yang bermakna.

Sinergitas akal dan jiwa

Ketakwaan yang bermakna akan bisa diraih ketika terjadi sinergitas akal dan jiwa. Sebab akal dan segenap kecerdasannya membutuhkan bimbingan jiwa yang bersih.

Sementara itu jiwa yang bersih akan muncul ketika ada kecerdasan akal yang mampu mengelaborasi ayat-ayat Allah dalam kehidupan nyata. Sebab akal yang akan mampu memahami, menjabarkan dan memanfaatkannya sebagai proses kemaslahatan umat.

Proses saling mempengaruhi kecerdasan akal dan jiwa yang ada pada diri seorang hamba akan mendorong pada ketakwaan yang bermakna.

Kecerdasan akal akan menunjukkan aneka varian kebesaran Allah SWT, jiwa yang bersih akan mengantarkannya pada sikap yang tawadhu, jauh dari sifat riya', iri, dengki, sombong dan serakah.

Proses tersebut bisa diwujudkan apabila terjadi proses belajar sepanjang hayat. Sinergitas akal dan jiwa dalam proses ini akan mengantarkan pada peningkatan kualitas takwa secara bertahap yang pada gilirannya akan menghadirkan ketakwaan yang bermakna yang pancarannya tidak saja untuk dirinya, namun orang lain juga bisa menikmati kebermaknaan takwanya.  

Puasa menjadi sarana ideal bagi terwujudnya sinergitas tersebut guna meraih takwa yang bermakna. Sebab kewajiban puasa yang digariskan memang untuk mewujudkan orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang dimulaikan disisi Allah SWT.

Meraih Takwa yang Bermakna

Puasa dapat menjadi sarana strategis mengasah jiwa. Kalau jiwanya bersih, lurus, lembut akan mendorong  akalnya semakin berkualitas dalam memahami realitas kehidupan. Sehingga memperoleh kedalaman makna.

Sebab akalnya dibimbing oleh jiwa yang sudah behasil dibersihkan melalui puasa. Jiwa yang bersih harus dilalui dengan mengurangi makan dan minum, mengendalikan ucapan dan tindakan yang tidak ada manfaatnya.

Menahan amarah, tidak serakah serta tidak mengkonstruksi iri dan dengki demi mempertahankan gengsi diri. Puasa yang demikian adalah puasa yang fungsional, bukan puasa yang ritual.

Puasa yang fungsional berarti puasa yang berhasil melahirkan orang-orang bertakwa yang bermakna.

Orang yang berhasil melakukan puasa demikian adalah orang yang mendapat keberuntungan. Siapakah  yang akan berhasil meraih kondisi takwa yang bermakna?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun