Gali Hikmah Bulan Suci: Wujudkan Keseimbangan 3 Anugerah Ilahi, Gapai Bahagia Hakiki
Allah SWT menciptakan alam raya dalam keseimbangan. Sehingga umat manusia dapat memperoleh berkah adanya keseimbangan tersebut. Oleh sebab itu manusia juga dituntut mewujudkan keseimbangan dalam kehidupannya. Keseimbangan tersebut dapat ditandai adanya kebahagiaan yang dicapainya tidak membuat orang lain menderita maupun sakitnya jiwa sebagai akibat jauh dari kehendak sang Pencipta (Khaliq).
Seperti diketahui bahwa manusia mempunyai tiga dimensi kehidupan yang menjadi fitrahnya yaitu sebagai makhluk individu, sosial dan spiritual. Ketiganya merupakan anugerah yang paling lengkap yang dimiliki manusia dibanding makhluk lainnya. Tugas manusia adalah menyeimbangkan ketiga fitrahnya agar dapat memperoleh kebahagiaan hidup yang hakiki. Yaitu kebahagian yang diperoleh seseorang, tanpa membuat orang lain menderita baik jiwa mauapun raganya.
Dalam kenyataan di lapangan, tidak sedikit manusia yang ingin meraih kebahagiaan dengan tidak memperhatikan kepentingan orang lain. Ia lebih memikirkan dirinya semata tanpa berpikir apa dan bagimana kondisi orang lain. Orang yang berperilaku demikian sering disebut dengan "egosentris". Praktik demikian pasti akan mengganggu adanya keseimbangan dalam kehidupan. Oleh sebab itu egosentris perlu dikendalikan agar seseorang tetap dengan potensi egonya yang menjadi anugerah, tetapi tetap dapat bersinergi dengan sosiosentris bahkan bisa sampai pada orientasi mencapai target spiritualsentris.
Memahami Tiga Dimensi Fitrah Manusia
1) Makhluk Individu
Manusia adalah makhluk individual. Pada dirinya melekat adanya "ego". Maka setiap manusia mempunyai kecenderungan memikirkan dirinya sendiri. Kecenderungan ini secara kodrati dapat mendorong masing-masing orang mengembangkan potensi dan kreativitasnya guna menunjukkan eksistensinya. Dampak positipnya muncul aneka kreativitas, karya dan produk-produk peradaban yang diakibatkan oleh munculnya komptensi masing-masing individu.
Namun di lapangan sering dijumpai adanya kecenderungan bahkan tren orang membangun semangat "egosentris" yaitu semangat yang didorong untuk mementingkan dirinya sendiri tanpa berpikir tentang kepentingan orang lain. Semangat ini sering disebut dengan "egoisme". Semangat ini dibumbui dengan langkah-langkah sikap a priori terhadap orang lain dan tidak mau peduli kepada orang lain. Kondisi demikian bisa berdampak munculnya sikap serakah, iri dan dengki bahkan sombong.
Padahal, secara kodrati tidak ada orang yang berhasil tanpa bantuan/keterlibatan orang lain. Dengan kata lain keberhasilan seseorang tidak mungkin tanpa jasa/bantuan orang lain. Sebab kodrat manusia selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Dalam konteks ini maka manusia harus saling membantu terhadap sesama. Hal-hal yang bersifat egosentris sangat membahayakan bagi pelakunya maupun orang lain.
Islam menuntun umatnya yang beriman untuk mengendalikan sikap dan perilaku yang bersifat "egosentris". Sebab hal tersebut sudah tidak menggunakan akal dan jiwa semata, namun sudah bersifat hawa nafsu. Puasa ramadan dengan segenap aktivitasnya diharapkan dapat mengendalikan hawa nafsu, sehingga tidak terjebak pada sikap egosentris.
2) Makhluk Sosial
Selain makhluk individual, manusia dianugerahi sebagai makhluk sosial. Artinya setiap manusia terikat oleh relasi sosial dengan sesama. Maka manusia dalam kondisi apapun tetap membutuhkan hadirnya orang lain. Oleh sebab itu manusia juga mempunyai "kecenderungan kodrati" untuk berperilaku sosiosentris.
Jika egosentris merupakan sikap yang berorientasi mementingkan diri sendiri, maka "sosiosentris" bermakna orientasi yang berpusat pada kepentingan bersama/masyarakat/orang banyak. Jika egoenstris dapat mengganggu stabilitas kehidupan sosial, maka sosiosentris terjadi sebaliknya yaitu dapat mewujudkan keseimbangan sosial (sosial equabrium). Ketika di masyarakat terwujud keseimbangan sosial, maka akan terwujud keadilan, kebersamaan, kesejahteraan dan harmoni sosial. Masyarakat yang harmonis merupakan tatanan kehidupan yang ditandai dengan kegiatan saling membantu satu dengan yang lain terutama yang berkecukupan membantu kepada yang kurang.
Dimensi sosiosentris merupakan profil individu yang mampu membangun keseimbangan antara kebutuhan egonya dengan dengan lingkungan sosialnya. Puasa ramadan dengan segenap aktivitasnya melatih orang-orang yang beriman dapat membangun sinergi pemenuhan eksistensi dirinya di tengah lingkungan sosialnya.
Salah satu komponen penting yang menjadi panglima atas baik dan buruknya ucapan dan tindakan manusia adalah hati. Apabila hatinya baik, akan baik semuanya. Sebaliknya jika hatinya kotor, maka akar jelek semuanya. Melalui hati, manusia dapat mengakui eksistensi Ilahi. Seseorang yang mempunyai kepekaan hati, berate ucapan dan tindakannya disandarkan pada pedoman dan pentunjuk Ilahi. Maka anugerah terbesar bagi kehidupan manusia adalah sebagai makhluk "spiritual".
Apabila egosentris berorientasi pada kepentingan diri sendiri, sosiosentris berorientasi pada orang banyak, maka spiritualsentris adalah sikap dan perilaku seseorang yang diorientasikan kepada hubungan yang cerdas dan berkualitas kepada sang Khaliq (sang pencipta) yaitu Allah SWT. Pada tahap ini seseorang sudah mampu membangun hubungan vertical secara cerdas dan berkualitas kepada sang Khaliq, namun tetap berada dalam relasi sosial terhadap sesamanya. Pada kondisi demikian seseorang telah memiliki tidak hanya kepekaan sosial, namun juga telah memiliki kepekaan hati.
Upaya Mewujudkan Keseimbangan Tiga Anugerah
Manusia pada umumnya sering terjebak dengan hawa nafsunya. Iri dan dengki, sombong, serakah, pemarah,dll merupakan jebakan hawa nafsu yang sering tidak kita disadari. Akibatnya kita terganggu keseimbangan hidupnya. Semua hal tersebut esensinya merupakan bentuk adanya sikap egois seseorang yang berlebihan. Oleh sebab itu sikap egosentris perlu disinergikan dengan sikap sosiosentris dan spiritualsentris. Sinergi ketiganya akan mewujudkan kehidupan yang seimbang baik secara individual, sosial maupun spiritual.
Berpuasa hakikinya merupakan perilaku untuk pengendalian hawa nafsu. Maka puasa melatih mempunyai kepekaan terhadap orang lain. Seseorang yang sudah memiliki kepekaan sosial mempunyai kecenderungan mempunyai kepekaan hati. Wujud kepekaan hati secara nyata adalah kualitas ibadah yang dilakukan. Pendek kata ibadahnya bermakna (ibadahnya bukan semata-mata ritual). Namun juga menyentuh pada kebutuhan personal maupun sosial. Dengan kata lain muncul kesadaran bahwa manusia itu adalah makhluk individu yang tetap berjuang mengkualitaskan kebutuhan individu. Namun tetap memeprhatikan kepentingan orang lain. Akhirnya seseorang terbangun kesadaran sebagai makhluk Allah SWT yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan jiwa beribadah kepada Allah SWT.Beberapa iktiar untuk mewujudkan keseimbangan antara lain:
- Melakukan instropeksi tentang kotoran hati yang ada pada dirinya. Sebab kotoran-kotoran tersebut akan menjadi belenggu seseorang masuk ke wilayah sosiosentris apalagi spiritualsentris.
- Membangun kesadaran diri untuk membersihkan kotoran-kotoran hati yang melekat pada dirinya. Sebab, dampak kesadaran demikian sangatlah besar bagi perubahan seseorang ke arah yang lebih baik.
- Menjalankan rangkaian ibadah puasa ramadan secara lengkap. Kegiatan ibadah bulan ramadan selain tidak makan dan minum di siang hari, juga memerintahkan melakukan tarawih di malam hari, memperbanyak tadarus Qur'an, memperbanyak infaq dan sedekah, membayar zakat dan melaksanakan salat idul fitri. Segenap kegiatan tersebut merupakan satu paket kegiatan ramadan yang bisa digali nilai demi nilai guna memperbaiki diri dari berbagai penyakit hati.
Pada akhirnya puasa ramadan menjadi sarana orang beriman menjadi orang yang bertakwa. Dalam kondisi demikian seseorang telah berada dalam dimensi spiritualsentris yaitu orientasi seorang manusia yang mampu membangun kualitas ibadah, namun tidak meningggalkan pemenuhan kebutuhan dirinya maupun orang lain.
Dengan kata lain, ia menjadi manusia yang berhasil menjadikan dirinya sebagai seorang individu, anggota masyarakat dan makhluk sang Khaliq yang menjalankan ibadah karena ridha-Nya. Sehingga dapat disimpulkan, apabila seorang yang beriman, menjalankan puasanya dengan benar, maka ia akan berhasil menepis egosentrisnya menuju sikap yang sosiosentris bahkan spiritualsentris. Langkah laku demikian memerlukan pengetahuan arti penting puasa ramadan, kesadaran tentang kekurangan dirinya dan kotoran-kotoran hati yang dimiliki. Sinergi pemenuhan kebutuhan manusia sebagai makhluk individual, sosial dan spiritual merupakan kebahagian yang hakiki.