6 Ciri Orang Memperoleh Hikmah Lailatul Qadar
Lailatul qadar merupakan malam kemuliaan. Malam ini Allah SWT menurunkan sejuta hikmah bagi siapa yang mendapatkannya. Lailatul qadar juga disebut dengan malam seribu bulan. Hal ini menunjukkan betapa malam tersebut merupakan malam yang istimewa baik dari sisi waktu maupun dari spirit yang ada di dalamnya. Dari sisi waktu malam tersebut ada dalam waktu ramadan, dari sisi spirit malam tersebut memberikan banyak nilai-nilai kehidupan yang ada di dalamnya. Maka barangsiapa memperoleh malam hikmah tersebut orang tersebut memperoleh keuntungan yang tak terhingga banyaknya.
Begitu istimewanya, pada 10 hari terakhir pada malam banyak aktivitas dilakukan di masjid atau musala. Mereka melakukan itikaf kajian keislaman, tadarus, dll yang dijadikan sarana atau proses untuk memperoleh malam lailatul qadar. Bahkan ada yang iktikaf 10 hari penuh. Sehingga siang dan malam mereka berkegiatan di masjid/musala. Dari berbagai sumber hadits diperoleh penjelasan, malam tersebut akan muncul pada malam ganjil 10 hari terakhir bulan ramadan.
6 Ciri Orang Memperoleh Hikmah Lailatul Qadar
Tentunya tidak semua orang bisa memperoleh malam lailatul qadar. Dengan kata lain hanya orang-orang yang mempunyai kriteria tertentu yang bisa memperoleh malam seribu bulan. Mengingat malam lailatul qadar hanya bisa diraih pada bulan ramadan, maka orang yang memperoleh malam tersebut akan bisa dilihat ciri-cirinya setalah puasa ramadan dijalankan. Menurut penulis, setidaknya ada 6 ciri orang yang bisa dikatakan berhasil memperoleh lailatul qadar.
a. Orang yang semakin mencintai al Quran
Bagi umat Islam al Quran setidaknya mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai petunjuk, pembeda dan penjelas. Dengan ketiga fungsi tersebut, maka al Quran merupakan pedoman kehidupan dunia sampai akhirat. Hal ini mengindikasikan bahwa kehidupan seorang muslim apabila didasarkan pada nilai-nilai al Quran akan memperoleh kebahagian dunia sampai akhirat.
Namun tidak semua orang Islam dapat hidup bersama al Quran. Setidaknya hal ini dapat kita lihat dari perilaku sebagaian dari kita yang sudah beribadah, namun masih senang membaggakan diri maupun keluarganya. Padahal al Quran menjelaskan bahwa Allah SWT tidak senang dengan orang yang membanggakan diri. Sebagaian kita juga ada yang tekun beribadah, bahkan fasih baca al Quran, namun masih juga tidak jujur. Setidaknya korupsi bisa menjadi contoh dari paparan ini. Sebab mereka yang korupsi ternyata juga terdapat yang tekun ibadahnya. Sebagian kita juga masih ditemukan berperilaku sombong, pamer (riya). Padahal al Quran melarang orang yang sombong dan riya.
Maka sangat beruntung betul jika ada orang Islam yang bisa mengamalkan nilai-nilai al Quran dalam kehidupannya. Waktu demi waktu, tahap demi tahap terus berjuang agar dirinya bisa menerapkan nilai-nilai al Quran dalam kehidupanya dalam semua hal baik sendirian maupun di tengah orang banyak. Pada giliranya, orang tersebut makin mencinta al Quran. Sehingga terus berusaha dari waktu ke waktu secara konsisten mau belajar dan terus berusaha semaksimal mungkin mengamalkan ajaran al Quran.
Hemat penulis, apabila seorang muslim (juga beriman) setelah menjalankan puasa, juga melengkapi ibadah puasanya dengan ibadah lain yang melengkapinya; termasuk salah satunya mengisi waktu sepuluh hari terakhir dengan ibadah sunah "itikaf", pasca ramadan kecintaannya terjadap al Quran makin bertambah, maka orang tersebut ada tanda-tanda mendapatkan lailatul qadar. Indikasi lanjutan yang nampak, sikap cintanya pada al Quran dilakukan dari hal-hal yang belum dipahami atau belum mampu, ia terus berusaha belajar dan belajar sampai akhirnya ketemu ramadan berikutnya. Sikap yang demikian dilakukan sampai akhir hayatnya. Salahkah jika orang yang demikian termasuk orang yang memperoleh hikmah laitul qadar?
b. Orang yang semakin ikhlas dalam menjalani kehidupan
Padanan kata ikhlas adalah kerelaan, ketulusan atau bersih hati. Implementasi ikhlas biasanya berkaitan dengan aktivitas seseorang dalam melakukan kebaikan kepada orang lain. Namun dalam praktik kehidupan, ikhlas juga berkaitan dengan kesiapan diri menerima takdir Allah SWT baik yang kita kehendaki maupun yang tidak dikehendaki. Maka lawan kata ikhlas untuk aktivitas kebaikan berarti ada pamrih, sedang ikhlas dalam menerima takdir Allah berarti mengeluh, menggerutu atau tidak rela dalam menerima takdir Allah SWT yang tidak sesuai harapan.
Ketika orang yang berpuasa, selama berpuasa mematuhi petunjuk dan larangan, selanjutnya melengkapi dengan ibadah-ibadah sunah yang dianjurkan; termasuk salah satunya adalah itikaf, setelah `menjalankan puasa keikhlasan makin berkualitas (meningkat), ia juga makin siap hati (rela) menerima takdir Allah yang tidak ia kehendaki, maka orang tersebut selama berpuasa telah mendapatkan salah satu mutiara dalam kehidupan. Kondisi demikian dilakukan sampai ramadan-ramadan berikutnya. Tidak bisakah orang yang demikian jika dikatakan orang yang memperoleh hikmah lailatul qadar?
c. Orang yang semakin cerdas memanfaatkan waktu
Islam sangat menekankan arti penting waktu. Sebab untung dan rugi umat Islam dalam kehidupan juga sangat ditentukan oleh sejauhmana efektif dan efesien waktu yang digunakan. Maka demi waktu, manusia sesungguhnya dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling menasihat hal kebaikan, kebenaran dan kesabaran.
Oleh sebab itu seseorang yang terindikasi memperoleh hikmah malam lailatul qadar adalah orang yang cerdas dalam memanfaatkan waktu. Pada diri orang ini sudah muncul kesadaran tentang bagaimana mengelola waktu agar efektif dan efesien. Orang tersebut dalam kehidupan sehari-hari sudah bisa mengelola waktu ibadahnya, waktu untuk istirahat, waktu untuk istri/suami, waktu untuk anak, waktu untuk lingkungan sosialnya, waktu untuk pengembangan produktifitas diri, waktu untuk bekerja,dll.
Prinsipnya tidak ada waktu yang terbuang sia-sia satu menitpun. Sehingga dalam perputaran waktu yang terus berjalan, seseorang selalu mengisi waktu-waktu yang ada dengan sesuatu yang membawa maslahat baik untuk memenuhi kebutuhan ia sebagai personal, juga sosial maupun pemenuhan untuk kebutuhan spiritual. Tidakkah orang yang bisa menata waktu untuk dunia dan akhiratnya secara cerdas termasuk orang yang memperoleh hikmah lailatul qadar?
d. Orang yang makin sadar mengeluarkan Infaq dan sedekah
Islam menuntun umatnya agar menyukuri nikmat harta melalui infaq dan sadaqah. Bahkan diperintahkan dalam berinfaq baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Perintah ini tentu tujuannya agar umat Islam tidak menjadikan hartanya sebagai sesembahan, sehingga mendorong dirinya menjadi kikir, tamak dan serakah. Perintah ini juga menjadi mengedukasi umat Islam agar tidak takabur karena hartanya. Oleh sebab itu ketika seseorang mau berinfak pada kondisi sempit (banyak kebutuhan, pas-pasan, dll) merupakan bentuk kesadaran seseorang tentang makna infaq dan sedekah bagi kualitas keimanannya.
Ketika seseorang berpuasa dengan segenap rangkaian yang diperintahkan dilaksanakan, selanjutnya setelah ramadan kualitas imannya ditingkatkan dengan kesadaran mengeluarkan infak dan sedekah, tidak bisa orang tersebut terindikasi memperoleh hikmah lailatul qadar?
e. Mampu Menahan amarah
Berpuasa selain harus dilakukan dengan lapar dan dahaga juga harus diikuti dengan reflek emosi yang bisa menahan amarah. Sebab orang yang tidak mampu menahan amarah berarti ia tidak berhasil mengendalikan emosinya. Dampak psikologis bagi seorang pemarah cenderung menyalahkan orang lain dan mempersepsi dirinya lebih baik dari orang lain.
Ketika seseorang selama menjalankan puasanya sesuai aturan dan menjalankan perintah lain yang menyertai,termasuk iktikaf di 10 hari terakhir, setelah puasa ia menunjukkan kualitas imannya dengan kemampuan menahan amarah, tidakkan orang yang demikian menjadi tanda orang yang memperoleh hikmah lailatul qadar?
f. Mau memaafkan kesalahan orang lain
Hemat penulis, salah satu ciri orang berhasil memperoleh lailatul qadar adalah kemampuan dirinya mau memaafkan kesalahan orang lain dari kesalahan yang dilakukan terhadap dirinya. Oleh sebab itu ketika seseorang setelah menjalankan puasa ramadan, setelah ramadan orang tersebut menjadi orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain, berarti orang tersebut mampu meningkatkan kualitas imannya melalui asah kecerdasan emosi. Bukankah kondisi demikian bukan merupakan indikasi seseorang berhasil memperoleh hikmah lailatul qadar?
Pada dasarnya orang yang memperoleh malam lailatul qadar adalah orang berhasil mengasah keimanannya menjadi orang yang bertakwa. Keberhasilan seseorang beriman bertransformasi menjadi orang yang takwa merupakan kecerdasan seseorang dalam mengasah imannya dari ramadan satu ke ramadan lainnya. Semoga kita bisa memenuhi ciri-ciri di atas, walaupun harus secara bertahap dari ramadan ke ramadan berikutnya sampai akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil kita kehadirat-Nya. (Refleksi menuju akhir ramadan 1444 H)