Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?
[KOLOMDonasi] Indang Kekuatan Budaya Rantau Piaman
Indang adalah kesenian daerah Kabupaten Padang Pariaman. Hampir setiap kampung dalam daerah ini, punya grup Indang yang sampai terkenal jauh.
Sebuah nyanyian yang dipadukan secara bersama. Diawali dengan lirikan nuansa agama, dan di tengah permainan, bisa nyanyian apa saja, tergantung "tukang dikie" yang familiar soal stok lagu.
Tukang dikie juga disebut tukang karang. Dia duduk sendiri di belang barisan anak indang yang berbaju seragam, dengan sistim memanjang.
Dalam satu kali momen, indang itu tampil sekali tiga grup, dengan sistim duduknya segi tiga, atau bisa juga gaya piramida.
Namun, tentang bergantian. Barisan ini memulai, dua barisan lain menyimak. Indang lazim dilakukan di laga-laga milik masyarakat kampung.
Alek nagari dinamakan. Ada 15 malam lamanya masa berindang itu. Rangkaian, semalam ini disebut indang naik, besok malam indang lambung.
Bedanya indang naik dan indang lambung, adalah mulai tampil. Kalau indang naik mulainya agak tengah malam. Sedangkan indang lambung, dari senja sudah mulai.
Dan lagian, kalau indang lambung itu penonton jauh lebih ramai, ketimbang indang naik yang mulai agak larut malam.
Seorang dari barisan anak indang, sengaja bajunya tak seragam dengan anak indang. Dia disebut "tukang aliah indang". Dia termasuk anak indang senior, dan masa depannya adalah bakal jadi tukang dikie indang.
Bernyanyi dan menari, dengan hanya duduk di tempat, barangkali sama halnya dengan tarian saman di Aceh. Banyak kandungan kajian tasawuf dan thariqat yang dinyanyikannya, mengundang yang tua-tua betah berlama mendengar nyanyian indang tersebut.
"Baa Kampuang Pili, kami mulai lai," kata tuka dikie indang dari Padang Baru, misalnya.
Begitu tinggi tatakrama dan budaya sopan santun diajarkan dalam budaya kesenian indang.
Oleh penyanyi Minang legendaris, Tiar Ramon indang ini dimodifikasi dengan irama yang khas, tanpa menghilangkan nada indang itu sendiri.
"Ikolah indang, oi Sungai Garinggiang. Kami baindang ganti baganti, nantikan kami sampai parak siang".
Begitu kira-kira nyanyian komunikasi yang bagus, dan ajak yang baik dari satu grup terhadap grup lainnya.
Kadang dalam indang berjalan, bahasa sindirian dengan lugasnya, terasa menampar grup lain, yang tiba gilirannya, juga tak kalah pula balasannya.
Berbalas pantunlah namanya. Indang, sering diadakan dalam suatu hajatan. Misalnya, saat pengangkatan pangulu di tengah kaum.
Atau nagari itu benar yang mengadakan di laga-laga, dengan mengundang grup kampung lain untuk tampil di kampung itu.
Adat indang laksana "julo-julo", ya bergantian. Helat tahun ini anak indang kampung kita acap pergi ke kampung lain untuk berindang, suatuvsaat nanti pun kita harus berani mengundang grup indang luar untuk menguji nyali di kampung kita.
Makanya, di setiap korong atau dusun selalu ada laga-laga, bangunan adat tempat mainan anak nagari.
Rangkaian indang, banyak diawali dengan silek, luambek, buru babi, serta kadang ada pula di akhir acara dengan menghadirkan musik modern, orgen tunggal.