Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?
Cerita Beli Daging Beronggok dan Tanggung Jawab Seorang Mamak
Cerita beli daging beronggok, merupakan tradisi dan kebiasaan masyarakat di mudik atau di kampung saat menyongsong lebaran Idul Fitri.
Masyarakat secara bersama beli seekor kerbau, lalu dipotong secara bersama pula di lingkungan surau atau masjid, dagingnya dibagi secara beronggok.
Seonggok daging, beratnya sekilo lebih sedikit. Harga seonggok disepakati Rp140 ribu.
Seekor kerbau itu bisa mencapai 130 onggok, dan kadang lebih malah. Uang untuk pembeli kerbau itu dikumpulkan saat menjalani separoh bulan puasa.
Kegiatan ini hampir merata di setiap kampung di Padang Pariaman, Sumbar. Terutama di kampung-kampung yang masih belum terkontaminasi oleh arus perubahan zaman.
Menurut masyarakat, rasa rendang daging beronggok dengan daging yang dibeli di pasar, itu jauh bedanya.
"Daging beronggok ini lumayan enak, dan terasa sekali berkahnya. Mungkin karena disembelih di surau atau masjid," cerita masyarakat.
Namun, menyembelih di surau ini hanya sebagian kecil. Umumnya, dibuat suatu tempat penyembelihan secara bersama, seperti yang dilakukan di Nagari Ulakan.
Di Tembok, Nagari Sintuak sudah lama memotong kerbau Idul Fitri secara mandiri di suraunya.
Tidak secara bersama di Sintuak. Menyembelih pun beda dengan masyarakat umum secara bernagari.