Menjemput Malam Lailatul Qadar dengan I'tikaf
Imam Ghazali memiliki rumus terkait jatuhnya malam lailatul qadar.
Pertama, jika bulan ramadhan jatuh pada hari Minggu, maka lailatul qadar jatuh pada malam ke-29. Jika awalnya jatuh pada hari Senin, maka lailatul qadar jatuh pada melam ke-21.
Jika awal ramadhan jatuh pada hari Selasa atau Jum’at, maka lailatul qadar jatuh pada malam ke-27.
Jika awalnya jatuh pada hari Kamis maka lailatul qadar jatuh pada malam ke-25. Jika awalnya jatuh pada hari Sabtu maka lailatul qadar jatuh pada malam ke-23
Kedua. Jika awal puasa jatuh hari Jum'at maka lailatul qadar jatuh pada malam ke-29. Jika awal puasanya Sabtu mak jatuh pada malam ke-21. Jika Ahad maka lailatul qadar jatuh pada malam ke-27.
Jika Senin maka lailatul qadar jatuh pada malam ke-29. Jika Selasa maka Lailatul qadar jatuh pada malam ke-25. Jika Rabu maka lailatul qadar jatuh pada malam ke-27. Jika Kamis maka lailatul qadar jatuh pada sepuluh akhir malam-malam ganjil.
Meski, terdapat beberapa versi terkait waktu terjadinya malam lailatul qadar, ada beberapa ciri atau tanda mengenai malam lailatul qadar.
Ciri pertama, langit di malam hari tampak bersih. Pada malam lailatul qadar diyakini langit jauh lebih bersih daripada malam-malam lainnya. Awan tak terlihat, suasana tenang dan sunyi, tidak panas maupun dingin.
Ciri kedua adalah, matahari tidak terlalu menyengat saat terbit alias hangat. Ciri ketiga adalah udara dan angin terasa tenang.
Ciri keempat, malam lailatul qadar terjadi pada malam-malam ganjil, khususnya di sepuluh hari terakhir ramadhan.
Di balik dirahasiakannya malam lailatul qadar, sebenarnya ada hikmah yang bisa kita petik, yaitu kita menjadi lebih rajin beribadah karena kita tidak tahu dengan pasti malam yang mulia itu akan datang.