Makam Dowo di Lamongan, Tradisi Nyekar dan Makna Ekokultural
Minggu sore menjelang Idul Fitri, 01/05/22, saya menyempatkan berkunjung ke Makam Dowo (Makam Panjang) di Dusun Wangun, Desa Daliwangun, Kecamatan Sugio, Lamongan. Sejak remaja saya sudah mendengar cerita tentang makam yang berukuran sekira 4 - 5 meter ini, namun belum pernah tahu wujudnya.
Kawan-kawan masa remaja yang pernah lewat makam tersebut setelah pulang dari menonton pertunjukan kesenian di dusun yang berada di tengah hutan jati seperti Dusun Wangun dan Dusun Pojok, pasti bercerita tentang Makam Dowo dengan gaya bombastis yang lumayan menyeramkan.
Namun, mereka tidak ada yang menyebut berpapasan dengan hantu seperti genderuwo, kuntilanak, ataupun pocong. Mereka hanya bertutur tentang perasaan takut karena melewati makam tersebut.
Tradisi Nyekar
Makam yang terletak di kawasan hutan jati yang dikelola Perhutani ini dikelilingi pagar tembok sederhana setinggi 1 meter. Letaknya persis berada di pinggir jalan dusun sehingga mudah dijangkau. Sebuah pohon besar bersama pohon jati berdiri kokoh seperti 'melindungi' makam sekaligus menghadirkan hawa sejuk.
Di makam saya berjumpa beberapa warga yang "nyekar" (berziarah, biasanya membawa kembang) ke Makam Dowo. Mereka menyempatkan nyekar ke Makam Dowo, setelah nyekar ke makam keluarga dan kerabat di kuburan dusun. Ada yang datang sendiri, bersama anak, dan bersama cucu. Tidak hanya anak atau cucu lelaki, tetapi juga perempuan. Hal itu menegaskan bahwa tidak ada pembedaan jenis kelamin dan gender untuk keperluan ziarah ke makam ini.
Diajaknya anak dan cucu merupakan peristiwa yang menarik untuk dipahami lebih lanjut. Para bapak atau kakek memiliki kesadaran tentang pentingnya "regenerasi nyekar" ke Makam Dowo. Anak-anak sejak usia dini dikenalkan secara langsung kepada makam panjang yang dihormati oleh para nenek moyang mereka. Ke depannya, mereka diharapkan bisa melanjutkan tradisi nyekar, meskipun mereka sudah menempuh pendidikan modern ataupun pendidikan keagamaan.
Untuk mendapatkan informasi tentang identitas/nama tokoh yang dimakamkan di tempat ini, saya sempatkan bersalaman dengan dan bertanya kepada beberapa warga yang selesai nyekar. Dengan cukup hangat mereka menyambut uluran tangan saya. Sayangnya, semua menjawab tidak tahu.
Kalau warga dusun yang terbiasa nyekar tidak tahu nama si tokoh, berarti memang identitasnya tidak banyak diketahui atau diceritakan secara luas. Masih menjadi misteri sampai sekarang. Bahkan, ketika saya berkomunikasi dengan seorang kawan yang terbiasa meneliti prasasti dan petilasan kuno di Lamongan, ia menjawab tidah tahu tentang Makam Dowo.
Namun, kalau dikaitkan dengan banyaknya situs purbakala di sekitar kawasan Daliwangun, bisa jadi Makam Dowo merupakan salah satu situs budaya yang lumayan penting di era kerajaan. Apakah sosok yang dimakamkan di sini terkait dengan Majapahit ataupun penyebaran agama Islam mengingat posisinya yang mengarah ke utara? Tidak ada jawaban yang pasti.
Memang, saya sempat mendapatkan informasi dari seorang kawan bahwa sosok yang dimakamkan di tempat ini adalah salah satu sunan penyebar agama Islam yang meninggal karena konflik dengan petinggi Majapahit.