Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Sembunyi di Kolong untuk Mengelabui Tuhan

2 April 2023   15:15 Diperbarui: 2 April 2023   15:19 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sembunyi di Kolong untuk Mengelabui Tuhan
Picture by Instagram ohens.wood

Kenangan. Peristiwa masa lalu yang tak akan terulang. Hanya bisa dikenang sebagai bahan renungan dan pengembang senyum di bibir.

Banyak kisah dan kenangan yang terendap diingatan. Bisa muncul secara tiba-tiba atau ketika diaduk-aduk kembali berbarengan dengan momen yang sama dengan yang terjadi di masa lalu.

Salah satunya momen bulan Ramadan. Ada banyak kisah masa kecil yang terjadi saat Ramadan. Mulai dari awal belajar puasa sampai momen salat Idul Fitri. Semuanya memberi warna tersendiri.

Bagaimana hal-hal yang kini terlihat konyol, dulu bisa kita lakukan tanpa merasa bersalah sedikit pun. Saya tidak akan pernah lupa dengan peristiwa masuk kolong yang dilakukan saat bulan puasa.

Waktu itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Saya tinggal dilingkungan yang mayoritas penduduknya orang Betawi asli. Zaman dulu rumah mereka masih yang tradisional. Rata-rata memiliki halaman dan dapur yang luas.

Di teras rumahnya ada bale bambu untuk duduk-duduk. Begitu juga di bagian dapur. Hanya saja bale bambu di dapur fungsinya untuk meletakkan barang-barang dan bahan belanjaan. Tempat air untuk memasak masih berupa tempayan dari tanah liat.

Sementara tempat air minumnya masih berupa kendi dari tanah liat. Air dalam kendi tersebut rasanya dingin dan segar sekali. Saya kalau main ke sana paling senang minum air dari kendi tersebut. Langsung diangkat kendinya lalu corongnya diarahkan ke mulut seperti minum air di pancuran.

Saya pernah bertanya, "Kenapa tidak pakai gelas?" Jawabannya simple saja. Biar enggak nyuci gelas. Kalau dengan cara begitu kan praktis. Jadi dari babanya, engkong, nyai dan teman saya sendiri minumnya seperti itu. Saya diajarinya juga mengikuti cara mereka.

Awalnya kagok. Saya tidak terbiasa dengan cara begitu. Tapi setiap main dan merasa haus, larinya ke dapur terus minum air kendi. Mau bagaimana lagi. Lama-lama terbiasa juga.

Nah, ada kejadian yang membuat saya merasa bersyukur dengan cara minum tersebut di atas. Momen mokel alias batal puasa dengan sengajanya tidak meninggalkan jejak. Karena tidak ada gelas bekas minum.

Semua berawal dari cuaca yang sangat terik dan saya merasa haus sekali usai bermain. Teman saya pun demikian. Tiba-tiba ia mengusulkan ke rumahnya saja untuk minum secara diam-diam.

"Enggak ah. Takut ketahuan Nyai lo (neneknya)."

"Kagak. Kan enggak ada bekas kita minum. Kita minum kayak biasa. Langsung dari kendinya," kata teman saya.

Membayangkan air dari kendi yang segar dan dingin, saya pun mulai tergoda.

"Beneran enggak ketahuan Nyai nih?"

"Kagak. Makanya buruan. Jangan berisik."

Nyai teman saya termasuk keras dan disiplin dalam urusan agama. Teman saya pernah kena pukul karena lalai dari salat. Jadi saya takut juga kalau sampai ketahuan. Bisa kena marah.

Tapi kesegaran air dari kendinya begitu menggoda iman. Saya pun akhirnya memutuskan untuk mokel.

"Ya udah deh gue minum juga. Haus banget soalnya. Tapi di mana nih minumnya biar enggak ketahuan. Biar pun Nyai enggak tahu, tapi Tuhan bisa melihat perbuatan kita loh."

"Ah, susah amat. Tuh masuk kolong aja. Minumnya di sana. Tuhan enggak bakalan melihat kita."

Namanya juga anak-anak yang belajar mengajinya masih malas-malasan. Lebih banyak mainnya pula. Jadi urusan agama belum paham sekali. Kita tahunya Tuhan ada di atas langit.

Tuhan bisa melihat seperti halnya kita. Jadi kalau kita berada di ruang tertutup atau tempat tersembunyi, Tuhan juga tidak bisa melihat perbuatan kita. Jadilah saya bergantian masuk kolong hanya untuk mengelabui Tuhan.

Agar Tuhan tidak melihat kita minum. Jadi tetap bisa mengaku puasa sehari penuh. Dihadapan orang lain dan di mata Tuhan. Beberapa kali saya dan teman tersebut di atas melakukan hal demikian. Rasanya asik-asik saja karena tidak ketahuan.

Sadar bahwa perbuatan yang kita lakukan itu salah ketika mengaji diterangkan tentang kebesaran Tuhan. Bagaimana Tuhan bisa melihat dan mengawasi perbuatan kita meski di dalam lubang semut.

Huaaah, rasanya bersalah sekali sudah mokel puasa seenaknya. Memang lolos dari pengamatan Nyai. Tapi ternyata tidak lolos dari pengamatan Tuhan. Sejak itu mulai insaf dan tidak mokel lagi. Tapi kenangan itu tak akan terlupakan sampai sekarang. Mengelabui Tuhan di kolong bale. Nostalgia masa kecil di bulan Ramadan. (EP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun