Ada Kopi di Antara Canda, Cerita, dan Cerutu
Asap kopi yang mengepul berkejaran dengan asap rokok, berbaur dengan kabut tipis yang melayang. Canda hangat memantik tawa riang di seputar tenda. Aroma masakan pun menggoda indera penciuman. Sementara, hangat mentari mulai membelai mesra, menepis dingin yang semula meraja. Cahaya keemasannya menghiasi arunika.
Suatu pagi di Gunung Lawu. Itulah yang terjadi. Hal yang selalu aku rindui. Salah satu healing yang paling sering kulakukan adalah mendaki gunung. Tak perlu jauh-jauh, masih di Indonesia saja, karena aku Bangga Berwisata di Indonesia. Mendaki gunung memang cukup menguras tenaga, tetapi perjalanan itu tak akan sia-sia.
Setelah penat bekerja di hiruk pikuk kota, naik gunung laksana oase di padang gersang. Udara sejuk dan minim polusi yang masuk ke paru-paru kita akan terasa sangat nikmat. Sejauh mata memandang hanya hijau, hijau, dan hijau.
Menyusuri jalan setapak di sepanjang jalur pendakian sambil melihat kiri kanan dan bercanda dengan teman sangat menyenangkan. Kehangatan yang tercipta layaknya sinar mentari pagi yang memeluk dalam dingin yang menusuk. Berlarian atau berguling-guling di tengah sabana hijau juga sangat membahagiakan.
Dalam pendakian, kita pasti akan bertemu jalan naik, turun, juga berbelok. Seperti kehidupan. Kadang kita terengah-engah untuk sampai ke atas. Memang, adrenalin cukup teruji saat bertemu trek yang curam.
Kadang saat kita berada di atas, kita bertemu jalan menurun. Diperlukan rem agar kita tidak tergelincir. Rem yang berarti pengendalian diri. Kadang, kita bertemu jalan lurus dan datar (kami menyebutnya bonus).
Sepanjang jalur pendakian, kita akan bertemu aneka flora dan fauna. Di Lawu dan Merapi misalnya, kita bisa bertemu burung jalak hitam, si penunjuk jalan. Burung itu biasanya akan berjalan di tanah, tak jauh dari kita melangkah. Dia seperti penunjuk jalan. Konon, bila kita tak tahu jalan dan bertemu jalak hitam, dia akan menunjukkan jalan yang benar pada kita. Di dua gunung itu, saya sudah membuktikannya.
Harum edelweiss sudah mulai tercium di ketinggian 1800 mdpl. Aroma edelweiss ini laksana candu. Dia terus memacu agar kami terus melaju, karena puncak setia menunggu. Di Lawu, ada edelweiss yang cukup langka, yaitu edelweiss ungu. Bunga jenis ini hanya ada di Gunung Lawu. Tahun 2001 terakhir kali aku melihat dan menghirup wanginya.
Dingin yang menyergap seirama dengan langit yang menggelap. Kerlip lampu kota di bawah sana, laksana pantulan gemintang yang bertebaran di langit malam. Setelag puas menikmati hawa dingin dan suasana malam, saatnya untuk beristirahat. Kita bisa memilih tidur di dalam tenda, berdesakan dalam sleeping bag, atau mau menghabiskan malam sambil bergantungan di atas hammock? Boleh!
Hati akan senang bila kaki telah menapak ke puncak. Ada kepuasan tersendiri bila telah mencapai titik tertinggi. Semua lelah terbayar lunas. Ini bukan soal menakhlukkan puncak, tetapi menakhlukkan diri sendiri, menakhlukkan ego pribadi. Bagiku dan teman-teman, puncak adalah kesepakatan. Di manapun titik tertinggi yang bisa kami capai, kami sepakati itu adalah puncak. Ya, puncak perjuangan kami.
Saat di gunung, semua kepribadian dan sifat asli akan terkuak. Kau akan bertemu dengan orang orang yang egois, maupun orang yang suka berbagi. Kau akan bisa mengenali mana yang tulus, mana yang modus.
Kau tak akan pernah tahu bagaimana rasanya mendaki bila belum mendaki. Kemasi barangmu, angkat ranselmu, mari mendaki bersamaku!
Jogja, 28 April 2023
Dari saya yang sudah cukup lama tidak naik gunung.
Foto: Anik Susilastiwi (dokpri)