Belakangan, hiburan di rumah tidak jauh dari menonton berbagai film dan seri dari berbagai negara, meski genre kriminal lebih banyak. Daripada hanya dinikmati sendiri, setidaknya dibagikan dari sudut pandang ibu-ibu deh! Kendati demikian, tetap akan ada tulisan ringan tentang topik-topik yang hangat mungkin juga memanas di negeri ini. Terima kasih untuk yang sudah menengok tulisan-tulisan receh saya. Love you all!
Kisah Klasik Setelah Ramadhan: Magnet Kota bagi Para Perantau
Bunyi judul berita yang isinya imbauan agar para pemudik tidak membawa kerabat saat kembali ke perantauan tiap tahun digaungkan. Setelah arus balik, operasi yustisi digencarkan. Pendataan perantau baru mencari kerja digiatkan.
Apa hasilnya? Data berupa penambahan orang yang mudik di Lebaran berikutnya pasti bertambah. Efisienkah imbauan itu?
Kota menjadi magnet bagi para perantau untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, lebih layak. Ketimpangan ekonomi daerah sudah tidak pernah surut. Di satu sisi, pembangunan digiatkan. Di sisi lain tetap menjadi yang terluar, tertinggal, bahkan tersisihkan.
Tidak heran bagi para pemudik kemudian membawa kerabatnya. Karena kerabat merupakan pintu pertama keyakinan mereka akan mendapatkan pekerjaan lebih baik dari di tempat tinggal sebelumnya.
Bapak saya, dulu memiliki tidak kurang dari 10 rumah petak yang disewakan. Setelah Lebaran, para penyewa pasti ada yang membawa kerabatnya bekerja. Kebetulan mereka semua adalah pekerja di pabrik tekstil.
Ketika itu, saat tekstil masih berjaya, para pekerja yang tidak berpengalaman masih diterima. Pekerja yang lebih senior akan mengajari mereka sebagai operator mesin. Hingga masa gajian, para perantau baru itu akan tinggal di kontrakan kerabatnya. Nanti setelah tiba masa gajian, mereka akan tinggal terpisah.
Sehingga tidak heran, bila di satu kampung akan diisi oleh perantau dari daerah yang sama. Seperti rumah petak Bapak saya yang diisi oleh pekerja tekstil dari Subang, tepatnya daerah Sagalaherang. Sedangkan yang berasal dari Jawa Tengah biasanya pekerja pabrik rajutan sweater.
Mereka tidak pernah bercerita terjaring operasi yustisi atau tidak. Namun, yang pasti mereka berhasil mendapat pekerjaan.
Bapak saya yang kebetulan menjabat sebagai sekretaris RT membuat sistem yang bikin mereka tidak bisa lolos dari kewajiban sebagai warga. Bapak saya selalu menekankan pada mereka agar memenuhi kewajiban mereka di kota yang mereka tinggali.
Misalnya untuk membayar zakat, Bapak memburu mereka sebelum mudik. "Kalian kan, mencari harta di sini, sudah seharusnya membersihkannya dengan zakat di sini." Beruntung mereka paham.
Gaji yang mereka terima sebagian dikumpulkan sebagai tabungan atau dikirimkan pada keluarganya di kampung. Beberapa dari mereka bahkan mampu membangun rumah dan membeli sawah dari penghasilannya itu. Tabungan mereka itu ternyata mampu menopang hidup mereka di kemudian hari, karena belasan tahun kemudian, pabrik-pabrik di daerah saya tinggal itu bangkrut dan memberhentikan para pekerjanya.
Akhirnya mereka semua memilih kembali ke kampung halamannya. Harta yang mereka kumpulkan dari bekerja belasan tahun itu sudah mampu menggantikan pekerjaan lama, sehingga mereka tidak perlu lagi merantau.***