DEWIYATINI
DEWIYATINI Freelancer

Belakangan, hiburan di rumah tidak jauh dari menonton berbagai film dan seri dari berbagai negara, meski genre kriminal lebih banyak. Daripada hanya dinikmati sendiri, setidaknya dibagikan dari sudut pandang ibu-ibu deh! Kendati demikian, tetap akan ada tulisan ringan tentang topik-topik yang hangat mungkin juga memanas di negeri ini. Terima kasih untuk yang sudah menengok tulisan-tulisan receh saya. Love you all!

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Merayakan Kemenangan Ramadhan: Kesucian Tidak Perlu Dimaknai Serba Baru di Lebaran

7 April 2024   22:52 Diperbarui: 7 April 2024   22:53 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Momen Lebaran seringkali jadi momen 'memaksakan diri'. Mulai dari baju baru, memasak dalam porsi besar, kue-kue, hingga belanja banyak hal baru. 

Ternyata jiwa yang fitri masih ditandai dengan hal-hal semu. Menanamkan nilai pada anak, kalau Lebaran harus serba baru. Padahal belum tentu itu kebutuhan pokok. 

Beli baju baru tidak harus Lebaran, tapi sesuai kebutuhan. Saat pakaian sudah rusak dan tidak dapat diperbaiki. Saat sepatu sudah tidak muat lagi. 

Memasak dalam porsi besar padahal keluarga segitu-gitu aja. Menu yang di hari ketiga sudah lagi tidak menarik dicicipi. Pada akhirnya, makanan terbuang. 

Sengaja belanja berbagai kue. Untuk tamu? Mungkin saja. Tapi apakah kita ini akan open house sehingga butuh makanan dan camilan yang banyak untuk menjamu tamu. 

Karena biasanya yang terjadi, setelah solat ied akan berziarah makam, silaturahmi dengan kerabat, menyantap ketupat dan opor, lalu dilanjut menebus waktu tidur yang hilang karena malam takbiran. Tidak aktivitas fashion show untuk memamerkan segala hal baru. 

Padahal makan Fitri itu sendiri, berarti hati kembali suci, kembali dimulai dari titik nol. Hati kita yang kembali suci, bukan fisik yang kembali dibalut baju baru. 

Sayangnya yang terjadi memaknai Lebaran itu malah dengan baju baru. Nilai yang keliru malah terus dipertahankan. 

Lebaran jadi momen memperpanjang gaya hidup konsumtif. Coba ingat waktu puasa, sudah seberapa konsumtif-kah kita? Lalu akankah terus dilanjutkan menghabiskan uang gajian dan THR untuk segala hal baru?

Tidak mudah bagi kita sebagai kalangan minoritas yang berupa menentang tradisi tersebut. Kenapa harus baju baru? Siapa yang memulai tradisi ini? 

Memang rezeki dari Allah SWT itu tidak seperti perhitungan kalkulator. Tapi tidak berarti akan turun dari langit. Kita perlu menjemput rezeki itu dengan kerja keras. 

Daripada memikirkan baju baru, sudahkah kita berzakat? Selain fisik dan rohani yang dibersihkan, disempurnakan dengan zakat. Malu dong tergesa membeli baju baru tapi tidak menyegerakan zakat.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun