Ramadan, Waktu, dan Pengelolaannya
Saya seorang Ahmadi. Saya suka lelucon. Untuk itu saat Gus Baha me-roasting Ahmadiyah sebagai punya dua nabi: "..yang paling kasus itu, di Swiss dan Selandia Baru. Itu baru kasus. Karena Islam masuk pertama di sana ternyata yang bawa adalah Ahmadiyah. Jadi itu agak unik. Hanya di dua negara itu, pertama ada Islam yang begitu juga Ahmadiyah. Jadi ketika (orang) Islam di sana main ke negara lain. (Orang Islam di sana akan berkata,) 'Kok nabinya satu? Di sana dua.' Karena pertama tahu Islam itu (dari) Ahmadiyah. Agak sial nasibnya. Untung belum banyak...." Saya senyum-senyum saja.
Gus Baha keliru besar. Orang Ahmadiyah malah menyakini jumlah nabi sebanyak 124 ribu. Bukan hanya dua. Dan ternyata Ahmadiyah sudah ada di lebih dari 212 negara di dunia. Gus Baha tentu masih punya kesempatan banyak untuk ngobrol-ngobrol dan melanjutkan candaannya dengan saudara-saudara Ahmadi di daerah sekitaran pesantrennya.
Lelucon Tua yang Tak Lekang Oleh Zaman
Bicara tentang lelucon, konon sudah ada sejak lampau. Dan seharusnya memang setua peradaban manusia. Catatan tertua ditemukan dalam sebuah tablet aksara paku Sumeria yang diperkirakan berasal dari tahun 3100-2900 SM. Sebagaimana dilansir dalam insider.com lelucon tersebut berbunyi:
"Satu hal yang tidak pernah terjadi sejak masa yang tidak kita ingat.... Seorang wanita muda tidak buang angin saat berada di pangkuan suaminya."
Ada satu lagi lelucon tua yang sering dinisbahkan kepada Santo Agustinus. Konon ia ditanya apa yang Tuhan lakukan sebelum Dia menciptakan langit dan bumi?
Santo Agustinus menjawab, "Aku tidak akan memberikan jawaban seperti seseorang yang mengatakan bahwa: 'Dia tengah menyiapkan neraka bagi siapa yang mengintip rahasia-Ku.'"
Lelucon Agustinian ini seringkali dikaitkan dengan pertanyaan tentang waktu. Dan saya teringat permintaan Bilal, anak didik saya. "Request tulisan tentang time management dong, Pak!" ungkapnya lengkap dengan emot tertawa khas WA.
Sebuah permintaan yang tidak mudah. Masalahnya, saya sendiri terkadang masih menganut madzhab deadlinerism. Menikmati sensasi adrenalistik tenggat waktu. Begitu umumnya saya berdalih atas buruknya dalam pengelolaan waktu.
Nasihat dari Asy-Syafi'i Berkenaan dengan Waktu
Imam Syafi'i---sebagaimana dikutip dari tulisan Mochamad Ari Irawan Begini Makna Waktu Menurut Para Ulama Sufi---berkata dalam sebuah riwayat: "Selama saya bersahabat dengan para sufi, saya tidak memperoleh kemanfaatan yang lebih utama, kecuali dua kalimat dari mereka. Saya mendengar mereka mengucapkan bahwa waktu ibarat pedang. Apabila kamu tidak mampu "memenej"nya, pedang itu akan membunuhmu. Oleh sebab itu, sibukkanlah dirimu dengan kebenaran dan kebajikan, jika tidak, kamu akan disibukkan dengan kebatilan."
Kata-kata terakhir Imam Syafi'i ini kemudian populer dan sering dikutip sebagai: Man laa yasghul nafsahu bil-haqqi syaghalatha bil-baathil (barangsiapa yang tidak menyibukkan dirinya dalam kebaikan, maka ia akan disibukkan oleh keburukan).
Al-Qur'an sendiri mengajarkan setidaknya dua prinsip pokok berkenaan dengan pengelolaan waktu. Pertama waktu harus dipergunakan untuk hal-hal berorientasi kepada keimanan dan kebaikan. Itu yang digariskan dalam QS Al-Ashr. Lalu, yang keduanya adalah perencanaan. Waktu hanya akan optimal bila dipergunakan secara terencana sebagaimana tersurat dalam rukuk terakhir QS Al-Hasyr. Inilah pilar utama dalam manajemen waktu menurut Al-Qur'an sependek pemahaman saya.
Saat Para Filosuf Menyoal tentang Waktu
Kembali kepada pertanyaan tentang waktu. Para filosuf berdebat sengit tentang bagaimana konsep waktu di hadapan Tuhan. Kini, berkah dari perkembangan ilmu pengetahuan sejak dari Newtonian ke Einstenian dan kemudian teori Kuantum membuktikan bahwa sejak Tuhan berbeda dimensi dengan makhluk-Nya, maka konsep waktu kita tidak relevan dengan-Nya. Dia adalah justru Sang Pencipta Waktu.
Relativitas waktu dengan fenomena dilatasinya lazim ditemukan dalam peristiwa kerohanian. Bagaimana Rasulullah saw. begitu asyiknya dalam shalat hingga waktu seakan mengalami dilatasi. Satu jam kita boleh jadi tidak sebanding sekian detiknya beliau. Kekhusyuan shalat Rasulullah saw telah sedemikian rupa merekayasa waktu dalam dimensi kita. Demikian juga halnya dengan peristiwa mukhasyafah sebagaimana yang beliau alami saat Mi'raj dan Isra merupakan contoh relativitas waktu. Jadi terlalu naif untuk menalar Tuhan dalam kerangka waktu kita.
Atau, berkenaan dengan betapa relatifnya waktu, dalam sebuah ungkapan bernada canda sebagaimana dikutip dari buku The Yale Book of Quotations Einstein konon berujar: "Ketika Anda duduk bersama seorang gadis yang baik, satu jam terasa seperti sedetik. Saat Anda duduk di atas sisa arang yang panas, sedetik terasa seperti satu jam. Itulah relativitas."
Ramadan dan Manajemen Waktu
Jelang akhir tulisan kali ini, saya ingin kembali menyinggung tentang pengelolaan waktu. Ramadan secara istimewa mengajarkan kita tentang pengelolaan waktu. Makan sahur dan ifthar diatur. Shalat malam (baik tarawih ataupun tahajjud) menjadi lebih diperhatikan---bila tidak bisa disebut dijadwalkan. Daras Al-Qur'an mendapatkan porsi waktu yang istimewa.
Ramadan hakikatnya jauh dari citra sebagai bulan rebahan. Sama sekali bukan bulan yang hari-harinya dipenuhi kemalasan. Sama sekali bukan. Sejarah bahkan mencatat setidaknya ada dua peperangan besar justru berlangsung pada bulan Ramadan, yakni Perang Badar dan Perang Khandaq. Jadi, Ramadan adalah bulan produktif di mana siang dan malamnya dipergunakan untuk membaca ayat qauliyah dan kauniyah secara berimbang.
Selamat menjalani ibadah puasa di hitungan keempatnya!