Pagi Berteka-teki
"Apa beda semut dengan manusia?" tanya Yaqzhan, si bungsu, saat kami berjalan ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah.
"Kita menyadari keberadaan semut di sekitar kita," jawab saya. "Semut nampaknya tidak seperti kita," tambah saya.
"Bukan itu jawabannya, Bah. Kita bisa kesemutan, sementara semut tidak bisa kemanusiaan," tukasnya penuh kemenangan.
Kita akrab dengan jawaban si bungsu tadi. Saya sengaja tidak memilih jawaban tersebut. Saya ingin mengajarinya bahwa kedua jawaban sama-sama belum bisa dikonfirmasi kebenarannya. Manusia dan semut sejauh ini belum bisa berkomunikasi secara komunikatif. Bahasa menjadi tantangan berat untuk sebuah konfirmasi.
Sesampainya di rumah---memanfaatkan momentum Hari Kartini. Giliran saya yang menggoda Sabeela, si cikal.
"Tahu gak siapa nama asli dari RA Kartini? Hari ini Hari Kartini, lho," tanya saya.
"Belum tahu, Bah," jawabnya dengan nada keheranan.
"Harum," jawab saya. "Kan ada dalam lagunya. 'Ibu kita Kartini harum namanya'."
Sejurus kemudian saya sadar kalau kami berbeda generasi. Saya masuk generasi x, sementara Sabeela dari generasi z. Eksplorasi atas lagu-lagu wajib nasionalnya tidak selebar saat saya tumbuh. Bila kita dengan semut terkendala oleh konfirmasi, maka saya dengan Sabeela terkendala oleh karakter generasi.
Teka-Teki untuk Abu Nawas