Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Guru

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Rabi'ah al-Adawiyah: Ia yang Hanya Ingin Menyinta

30 April 2022   18:41 Diperbarui: 30 April 2022   20:02 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rabi'ah al-Adawiyah: Ia yang Hanya Ingin Menyinta
Gambar Rabi'ah al-Adawiyah (sumber: https://islami.co

Ungkapan legendaris dari Rabi'ah tentang kecintaan kepada Allah adalah saat ia ditanya tentang kebenciannya terhadap syaitan. Ia konon berkata bahwa kecintaan kepada Allah telah memenuhi relung hatinya, sehingga tidak ada lagi ruang tersisa untuk kebencian. Lebih dari seribu tahun setelahnya, pada tahun 1980 Khalifah Jamaah Muslim Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Nasir Ahmad meredaksikan ulang dalam moto Love for All Hatred for None (Cinta untuk Semua, Tiada Kebencian bagi Siapapun).

Cinta yang Tak Padam oleh Maut

Tidak ada makhluk yang ditakdirkan untuk abadi. Semua akan mereguk anggur kematian. Pun demikian halnya dengan Rabi'ah. Saat maut akan menjemput, pelayat mulai meninggalkan ruangan dan menutup pintu. Dari balik kamar terdengar sebuah suara berkata, "Wahai jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu dengan bahagia." Waktu berlalu dan tidak ada lagi suara yang terdengar dari ruangan, kemudian mereka membuka pintu dan mendapati bahwa Rabiah telah meninggal.

Setelah kematiannya, seseorang bertemu dengan Rabiah dalam mimpi. Dia bertanya, "Bagaimana engkau menghadapai malaikat Munkar dan Nakir?"

Rabiah menjawab, "Para pemuda itu (Munkar dan Nakir) datang kepadaku dan berkata, 'Siapakah Tuhanmu?' Aku menjawab, 'Kembalilah dan katakan kepada Allah, di antara ribuan makhluk, janganlah Engkau melupakan seorang wanita tua yang lemah ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu di dunia, tidak akan pernah melupakan-Mu, mengapa Engkau harus mengirim utusan untuk bertanya 'siapakah Tuhanmu?'" (Ibid, Hal. 45-46 dikutip dari Wafatnya Rabi'ah al-Adawiyah)

Maut tak bisa memadamkan cinta Rabi'ah kepada Kekasihnya yang sejati, Allah.

Moderasi dalam Beragama

Sufisme lahir setidaknya satu abad pasca kemangkatan Nabi Muhammad saw. Kezuhudan yang dipraktikkan Nabi Muhammad saw dan para sahabat beliau merupakan prototipe dari sufisme di kemudian hari. Secara esensial, muslimah pertama dalam sejarah Islam, Khadijah ra tidak kalah mencengangkannya dari sepak terjang Rabi'ah. Malah sebagaimana diakui oleh para ulama A.J. Arberry, berkenaan dengan Rabi'ah kita harus berhati-hati dengan interpolasi dalam penghikayatannya. Sebab tidak sedikit pernyataan atau bahkan hikayat yang dinisbahkan kepada Rabi'ah itu lebih bersifat legenda alih-alih peristiwa yang benar-benar faktual. Hal yang sering terjadi dengan tokoh-tokoh besar lainnya.

Khadijah al-Kubra, Fatimah az-Zahra dan Aisyah ar-Ridha adalah wanita-wanita agung yang tidak pernah kita dengar sebagai sufi, atau berkata-kata yang bersifat syathahat (kemabukan spiritual). Namun, siapapun pasti sepakat betapa agung kedudukan ketiganya. Ibu dan anak, Khadijah dan Fatimah, keduanya disebut oleh Nabi saw sebagai Penghulu Ahli sorga di kalangan wanita. Atau, Aisyah yang oleh Nabi saw para sahabat disuruh untuk belajar Al-Qur'an darinya dengan sebutan indah, Humairah (yang berpipi kemerah-merahan). Dan ia yang menyimpulkan keseluruhan karakter indah sang Nabi dalam kalimat singkat, kaana khuluquhul Qur'an, bahwa beliau adalah Al-Qur'an yang berjalan.

Ketiganya yang menempuh kehidupan zuhud sama sekali tidak disebut sufi. Ikatan kerohanian dengan wujud suci Rasulullah saw menjadikan ketiganya memiliki koneksi istimewa dengan Allah SWT tanpa harus menempuh perjalan berliku para sufi. Inilah contoh moderasi dalam beragama para sahabat di bawah tilikan sang Nabi saw.. Bila Rabi'ah adalah ekspresi individualitas dalam beragama, maka ketiga wanita agung yang disebutkan terakhir merupakan gabungan serasi individualitas dan kolektivitas dalam beragama.

Ada banyak jalan menuju Roma, memang, bila mengutip pepatah lawas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun