Gerak Hati Mendapat Dosa
Mulanya, Imam Ghazali merasa musykil karena beberapa ayat Alquran dan Hadis nabi seperti kontradiksi. Kesan kontradiksi ini nampak terbaca saat dua dalil primer tersebut membincangkan gerak-gerik hati sanubari.
Narasi bahwa gerak-gerik hati bebas, tidak terjangkau oleh hukum (dosa/pahala) ditunjukkan oleh banyak dalil. Namun, banyak juga dalil mengatakan sebaliknya.
Satu misal hadis nabi berikut ini.
"Bisik hati umatku ditoleransi oleh Allah Swt selama tidak terucap atau tidak dilakukan"
Hadis ini menjadi landas pijak bahwa bagaimana pun gerak laku hati manusia, ia tidak menjadi soal di sisi Allah Swt. Allah Swt memberikan dispensasi jika darinya terbesit bisikan kejahatan atau keburukan"
Beda cerita jika hadis di atas disanding dengan firman Allah Swt:
"Jika kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengazab siapa yang Dia kehendaki..." (Al-Baqarah ayat 284)
Ayat ini menjadi dalil bahwa semua bentuk gerak hati manusia tidak luput dari sanksi atas keburukan yang diperbuatnya.
Kasat mata, ayat ini tentu bertentangan dengan hadis di atas. Di sinilah kemusykilan Imam Ghazali bermula. Namun hematnya, dalil-dalil tersebut bisa dikompromikan satu sama lainnya walau agak rumit. Butuh ketelitian dan berfikir keras untuk bisa mengurai kerumitan tersebut.
Lebih lanjut, untuk bisa mengurai kusut persoalan ini, ulama berjuluk hujjatul Islam ini membagi empat tahapan psikologis hati manusia sebelum melakukan suatu perbuatan.
Tahap pertama ia sebut khatir atau hadis al-nafs.
Fase awal ini ditandai dengan munculnya lintasan dalam hati yang sifatnya spontanitas. Ia muncul tiba-tiba saja tanpa bisa dikontrol (ghairu ikhtiyari).
Umpama, dari belakang muncul sosok manusia, kemudian spontan terlintas dalam hatinya bahwa orang yang ada di belakangnya adalah seorang cowok ganteng.
Tahap kedua disebut dengan mail al-thaba'i.
Ini adalah proses kelanjutan dari tahapan pertama. Pada tahap ini, muncul perasaan senang atas sosok cowok ganteng yang ada di belakanganya. Hatinya bergejolak ingin melihatnya.
Nahh! Tahap pertama dan kedua inilah yang dimaksud oleh hadis di atas, yakni tidak ada sanksi apapun atas gerak-gerik hati manusia. Alasannya, pada tahap ini manusia sering kali tidak memiliki ikhtiar. Semuanya terjadi tanpa bisa dikontrol.
Tahap berikutnya disebut 'itiqad.
Pada proses ini, keinginan untuk memandang sosok cantik di belakangnya sudah mantap. Namun kadang kala, keinginan ini bisa saja pupus lantaran ada rasa malu dan semacamnya.
Kalau malunya karena takut diledek sama si cowok, atau takut ketahuan sama istrinya maka ia tetap dosa walau keinginannya udah sirna. Namun jika rasa malu timbul karena takut kepada Allah swt, no problem.
Tahap paling akhir disebut dengan al-hammu, yaitu ada keputusan untuk melakukan apa yang sudah diniati. Jelas, pelakunya akan dihukum kecuali dia gagal melakukan apa yang sudah menjadi komitmen pada tahap ketiga.
Bila dia urung melakukannya karena takut kepada Allah SWT dan menyesali keinginannya maka ia mendapat pahala. Namun bila kegagalan itu disebabkan oleh hal lain selain Allah SWT maka tetap berdosa.
Tahap ketiga dan keempat inilah yang dimaksud oleh surat Al-Baqarah ayat 284 di atas. Gerak hatinya akan menuai apapun yang dilakukannya.
Contoh lainnya, jika malam ini anda bermaksud untuk merampok esok pagi, kemudian anda tiba-tiba mati sebelum merampok, maka menurut tahap sikologis keempat ini anda udah terhitung berdosa.
Atas dasar tahap keempat ini juga,
seorang laki-laki tidak berdosa menjimak wanita lain (ajnabi) ketika ia menduga bahwa orang tersebut adalah istrinya.
Sebaliknya, ketika ia menduga bahwa wanita yang dijimak adalah orang lain, padahal wanita itu benar-benar istrinya maka si laki-laki tetap berdosa.