Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |
Merasakan Makna Ramadan untuk Pertumbuhan Diri
Ramadan sudah berjalan lebih dari sepekan. Rasanya menarik juga mencari makna ramadan secara personal. Siapa tahu dapat menginspirasi bukan?
Kalau dalam pembelajaran membaca, siswa dan guru Bahasa tentu mengenal istilah makna tersurat dan makna tersirat. Makna tersurat adalah makna asli dari suatu kata-kata atau kalimat secara harfiah. Sedangkan makna tersirat adalah makna yang terkandung atau makna tambahan yang berasal dari balik kata-kata yang tampak.
Seperti pada kalimat "Apakah kamu sudah makan?" yang secara tersirat dapat bermakna ajakan untuk makan bersama. Walau secara tersurat adalah bentuk pertanyaan kepada kamu.
Sama halnya dengan kalimat, Nikmat mana lagi yang engkau dustakan? Secara tersurat itu memang sekedar bertanya, namun secara tersirat bisa jadi itu anjuran agar engkau bersyukur.
Sederhananya, makna tersurat dapat dipahami secara langsung dari bahasa yang digunakannya (kalimat) dengan cara membacanya saja. Sedangkan makna tersirat dapat dipahami dari konteks dan pengetahuan dalam lingkup budaya atau yang lebih luas lagi dari bahasa. Sehingga kita juga perlu "merasakan" sesuatu yang ada di balik bahasa. Kira-kira seperti itu pemahaman saya tentang "makna" dalam teori semiotik bahasa.
Untuk itu, saya kira aktivitas-aktivitas khas di bulan ramadan dapat dipahami makna tersiratnya. Bulan ramadan yang merupakan bulan puasa bagi umat muslim, rupanya dapat menjadi momen pertumbuhan diri, terutama dalam membangun cara berjuang untuk menempuh tujuan.
Berikut ini, saya uraikan tiga makna yang dapat saya gali dan rasakan dari momen ramadan ini.
1. Setia terhadap waktu: melatih konsistensi penuh untuk mencapai tujuan.
Selama satu bulan penuh kita dilatih untuk bangun lebih awal untuk makan sahur. Momen ini dapat menjadi pemantik diri kita untuk setia pada waktu.
Kita pun harus konsisten hanya makan ketika matahari terbenam (magrib) dan sebelum matahari terbit (waktu subuh). Kita menahan hawa nafsu lainnya di waktu yang sama, untuk mendapatkan kemuliaan dari Allah.