TRADISI Artikel Utama

Budaya "Ujung" Sebuah Kenangan yang Membahagiakan

22 April 2023   13:10 Diperbarui: 23 April 2023   09:51 1290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Budaya "Ujung" Sebuah Kenangan yang Membahagiakan
 Ilustrasi Tradisi Ujung di Hari Lebaran| Dok Kompas.com/Ika Fitriana

"Sampun Mbah, badhe nerasaken lampah, Nyuwun pamit rumiyin"(Sudah Mbah, mau meneruskan ujung ke tempat lain)

"Lha kok sedelit men (Cuma sebentar), Iyo wis ati ati yo le, nok."

Itu baru satu diantara puluhan rumah yang mesti kami datangi. Pulang-pulang dari ujung kami kecapekan dan tentu saja kekenyangan.

Hari kedua kami punya agenda untuk melakukan ujung ke luar dusun, entah ke desa sebelah atau agak lebih jauh lagi, bahkan dulu ketika kendaraan bermotor belum banyak, jalan kaki berkilo-kilo meter kami lakukan untuk bertemu dengan saudara jauh yang jarang ketemu.

Hari kedua biasanya kami dijamu makan besar. Yang khas ada di desa itu adalah besengek tempe, opor ayam, srondeng daging sapi, krupuk udang dan mangut uceng dam mujahir.

Sajian minumannya di mana-mana selalu tersedia teh manis panas (nasgitel: panas legi kentel) terkadang teh pahit dengan gula kelapa sebagai pemanisnya. Rasa capek dan lelah lantas hilang setelah menyeruput teh dan sejumlah suguhan, emping mlinjo yang besar, serta enting-enting jahe.

Tradisi ujung itu hadir turun temurun sebagai sebuah kebiasaan masyarakat Jawa. Keakraban, sikap ramah, dan membuka diri pada tamu siapa saja untuk disuguhi berderet makanan itu membuat saya kangen dengan masa kecil saya. 

Kami mengenal saudara satu kampung, kenal saudara lain desa bahkan yang jaraknya berkilo-kilo. Di Magelang tradisi itu masih dilakukan sampai sekarang.

Kalau dulu zaman kecil jalan kaki sudah menjadi kebiasaan, dengan baju baru, keringat berlelehan menyusuri sawah, jalan setapak, ladang, naik turun jurang atau tebing, menikmati jernihnya sungai dari lereng gunung Merapi dan Merbabu. Sekarang orang-orang berkunjung dengan berkendara motor dan mobil.

Orang-orang perantau yang pulang ingin menunjukkan betapa mereka sukses mengais rezeki di kota. Berpakaian keren dan menunjukkan kendaraan mereka yang keren-keren. Padahal dulu tujuan utama adalah minta doa dari orang tua dan sekadar menikmati suguhan makanan khas yang selalu disajikan saat lebaran.

Mungkin dulu dikenal istilah tuno sathak bathi sanak (merugi sejumlah uang tetapi untuk memperluas persaudaraan). Rasa persaudaraan kuat membuat kegotong-royongan juga kuat. Meskipun berlainan agama, tidak ada sekat karena perayaan lebaran itu seakan-akan menjadi perayaan bersama orang-orang Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun