Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Dosen

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

TRADISI Pilihan

Mudik Bukan Ajang Adu Gengsi!

28 April 2022   07:31 Diperbarui: 28 April 2022   10:53 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mudik Bukan Ajang Adu Gengsi!
Susana mudik (sumber: motorplus-online.com)

Oleh. Eduardus F. L

Para pembaca Kompasiana yang Budiman, mungkin diantara kita saat ini sedang bersiap-siap untuk mudik. Atau barangkali juga, saat ini sudah berada di kampung halamannya masing-masing untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga. Penulis mengucapkan semoga kita bisa bertemu sanak saudara dalam keadaan sehat dan bahagia.

Persis dua tahun, di masa pandemi covid 19, pemerintah melarang masyarakat untuk mudik. Hal ini dilakukan lantaran masih tingginya potensi penyebaran virus tersebut. Namun, kebijakan tersebut tidak berlaku untuk lebaran kali ini. 

Tentu kita merasa senang dengan kebijakan pemerintah tersebut. Bahkan pemerintah tidak lagi melarang kegiatan keagamaan secara massal. Akan tetapi, sebagai masyarakat kita perlu menyadari pentingnya menjaga kesehatan dengan tetap menaati protokol kesehatan. 

Mudik adalah perjalan Iman

Disadari atau tidak, mudik memiliki relevansi dengan hari raya besar agama tertentu. Setiap orang akan melakukan mudik ketika menyambut hari raya agama. Tentu hal itu bukan hanya dilakukan oleh saudara kita kaum muslim, namun juga saudara-saudara kita yang non mulim. Misalnya, mudik saat merayakan hari raya Natal oleh saudara-saudara kita umat Nasrani.

Walupun secara prinsip mudik bukan bagian inti dari ritual keagamaan, namun selaras dengan refleksi iman umat yang sedang melakukan mudik. Bagi sekelompok orang mudik bukan hanya bagian dari tradisi semata. Mudik merupakan perjalanan iman dalam kehidupan sosial dan budaya.

Tujuan mudik tidak hanya sekedar berlibur atau rehat dari hiruk-pikuk aktivitas keseharian. Setidaknya ada beberapa makna mudik sebagai perjalan iman. Perjalanan iman yang mestinya disadari oleh setiap masyarakat Indonesia.

Pertama, mudik mengingatkan eksistensi manusia sebagai alfa dan omega. Sebab, hidup selalu memulai dari Alfa dan berakhir pada Omega. Mudik merefleksikan kembali dari mana kita berasal dan kemana kita akan berakhir.

Ilustrasi saat bertemu orang tua (Sumber: popbela.com)
Ilustrasi saat bertemu orang tua (Sumber: popbela.com)

Berkunjung ke rumah orang tua (ayah dan ibu) saat mudik merupakan cara mengobati kerinduan kita terhadap orang yang mencintai dan tulus membesarkan kita. Seakan kita menyadari pula bahwa kita tidak bisa lepas dari semua rasa cinta yang pernah kita alami sebagai Alfa atas hidup kita. Termasuk kembali pada dia yang memiliki alfa dan omega yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Kedua, mudik mengingatkan kembali atas panggilan hidup yang sesungguhnya. Hidup bukan hanya sekedar urusan duniawi. Bukan hanya sekedar urusan bekerja, makan dan minum, atau hiburan semata. Lebih dari itu hidup adalah entitas yang mencakupi seluruh dimensi termasuk relasi dengan sang pencipta.

Ilustrasi memfokuskan dan mendekatkan di kepada Sang Pencipta (Sumber: tebuireng.oline)
Ilustrasi memfokuskan dan mendekatkan di kepada Sang Pencipta (Sumber: tebuireng.oline)

Sebenarnya saat kita mudik (untuk menyambut hari raya agama), kita dipanggil untuk memfokuskan dan mendekatkan diri kepada yang maha kuasa. Kita mencoba menarik diri dari aktivitas yang sekiranya dapat mengganggu intensitas pergumulan kita bersama Tuhan. Oleh karena itu,  mudik Jangan dijadikan beban sehingga mengganggu relasi kita bersama Tuhan. 

Ketiga, mudik sebagai jembatan relasi dalam iman. Kita tentu merasa bahagia saat mudik karena bisa bertemu kembali bersama keluarga besar. Kita kembali bersilaturahmi dengan orang tua, dengan adik-kakak dan para sahabat.

Potret momen kebersamaan saat lebaran (sumber: jatim.tribunnews.com)
Potret momen kebersamaan saat lebaran (sumber: jatim.tribunnews.com)

Hal itu tidak berarti bahwa selama ini kita mengabaikan silaturahmi dengan sesama terutama dengan keluarga kita. Namun kesan mudik dalam rangka memperingati hari raya keagamaan tentu memiliki nuansa yang berbeda. Nuansa religius yang memperkokoh relasi iman diantara kita.

Mudik bukan ajang adu Gengsi!

Sebagian orang merasa senang saat ingin mudik. Tidak sedikit pula yang merasa terbebani, sebab banyak hal yang mereka harus pikirkan dan perlu siapkan. Inilah yang menjadi dasar pemikiran dari judul tulisan ini. 

Apa yang dipikirkan oleh sebagian orang tersebut justru mencederai esensi mudik yang sesungguhnya. Sebagian orang memanfaatkan mudik sebagai unjuk kesuksesan di kota. Alhasil, kita menyaksikan pertarungan "adu gengsi"

Maka tidak heran juga kita mendengarkan bahwa salah satu alasan tidak mudik karena dianggap belum sukses. Padahal, kesempatan dan biaya mudik sudah sangat cukup. Hanya karena alasan "gensi" semata akhirnya niat untuk bersilaturahmi bersama keluarga tidak dilaksanakan.

Perasaan gensi sesungguhnya telah membatalkan seluruh niat baik kita untuk bersilaturahmi bersama keluarga terutama orang tua. Penulis meyakini bahwa yang diharapkan dari kedua orang tua adalah bertemu dan berkumpul bersama anak-anaknya seperti saat lebaran tiba. Walaupun hanya dalam waktu yang singkat.

Mudik tidak hanya sekedar bicara apa yang akan kita bawa untuk orang tua dan saudara-saudara kita. Bagi orang tua ole-ole atau buah tangan tidaklah menjadi penting. Penting bagi mereka adalah kita sehat dan tetep menjaga tali silaturahmi.

Tidak salah jika kita ingin berbuat baik kepada orang tua, termasuk memberikan buah tangan untuk orang tua. Akan tetapi hal itu jangan sampai menjadi beban yang bisa saja membatalkan niat kita untuk mudik. Apalagi, hanya karena takut dibilang tidak sukses oleh orang lain lalu membatalkan niat kita untuk mudik.

Setiap orang  orang memiliki standar kesuksesan yang berbedaJangan sampai kita membatalkan niat kita untuk menjaga silaturahmi bersama keluarga hanya karena standar kesuksesan dari persepi orang lain. Sebab gengsi adalah pintu dari kesombongan.

Mudik bukan suatu keharusan yang wajib dilaksanakan. Namun, selagi masih ada kesempatan untuk bersilaturahmi dengan orang tua maka atatlah kita mudik. Jangan lewatkan kesempatan untuk melihat orang tua dan saudara selama masih diberi kesempat hidup. Sekian!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun