Mengejar Lailatul Qadar
Saya memang tidak pernah menangis.
Dan kening saya? Satu-satunya tanda yang ada adalah goresan luka memanjang sekitar 5 cm membentuk keloid, bekas sabetan belati.
Saya masih berdiri menatap orang-orang yang mulai hilang dari pandangan saya. Dan saya sepertinya mulai lelah. Tubuh saya limbung.
Meski begitu saya tidak ingin menyerah. Saya lantas memaksakan diri untuk terus bertahan. Tekat saya sudah bulat. Saya ingin kembali ke jalan Tuhan. Saya sudah bosan hidup menjadi seorang pecundang.
Saya nyaris menghimpun tenaga untuk berlari ketika tiba-tiba sesuatu menghalang langkah saya. Sesuatu yang membuat mata saya silau dan kaki saya tak kuasa lagi melangkah.
Sesuatu itu meluncur begitu cepat ke arah saya. Dan berhenti tepat di atas kepala saya..
Saya terperangah manakala sesuatu itu berbicara kepada saya. "Akulah Lailatul Qadar yang dikejar-kejar oleh orang-orang suci itu. Aku sejak tadi mencarimu. Aku akan menuntun langkahmu karena niatmu yang bersungguh-sungguh ingin kembali ke jalan Allah."
Tubuh saya mendadak menggigil. Untuk pertama kalinya mata saya basah. Saya menangis.
"Ikuti saya," Lailatur Qadar memberi tanda ke arah saya. Menuntun saya ke sebuah tempat yang selama ini nyaris tidak pernah saya datangi.
Di tempat itu, di rumah Tuhan saya bersegera mengambil air wudhu. Membasahi wajah dan hati saya yang keruh.
Seorang lelaki tua, marbot masjid menepuk pundak saya dan memerintah, "Nak, serukan azan subuh!"