Cermin | Memaafkanmu adalah Obat Paling Mujarab bagi Luka Hatiku
Ketika mengetahui pasangan kita--suami atau istri melakukan kesalahan paling fatal, yakni berselingkuh, sudah pasti rasa marah, kecewa, sedih, terluka, bahkan putus asa akan menguasai sepenuh hati kita.
Itu wajar. Dan sangat manusiawi.
Siapa juga yang tidak marah mengetahui cintanya dikhianati? Siapa pula yang tidak kecewa saat kepercayaan yang diberikan disalahgunakan?
Pada sebagian orang, termasuk saya, dalam keadaan sedih dan terluka, hati berkali-kali lantang menegaskan, "Duhai, penghianat cinta. Tidak ada lagi pintu maaf terbuka bagimu. Hari ini, esok, lusa dan selamanya!"
Tapi benarkah begitu? Benarkah seseorang yang telah melakukan kesalahan terhadap diri kita tidak pantas beroleh maaf, walau seujung kuku?
Mari kita menoleh sejenak ke belakang. Kembali kepada komitmen awal sebuah pernikahan.
Bukankah sejak awal kita sendiri yang memilih jodoh kita? Kita sudah begitu yakin, bahwa pilihan kita adalah yang terbaik di antara semua pilihan. Untuk itulah kita lantas berani memutuskan, bersedia menjalani hidup bersama dalam satu ikatan pernikahan yang suci. Lalu saling mengikat janji--walau janji tidak harus selalu diucapkan.
Masih hangat menyentuh nurani kita. Saat mata saling berpagut pandang, mengungkapkan indahnya perasaan untuk saling mencintai, menyayangi, setia, seia sekata, dan akan senantiasa mendampingi dalam keadaan suka maupun duka.
Sampai badai bernama selingkuh itu datang memporakporandakan semua.
Lantas haruskah kita menyerah begitu saja? Membiarkan badai menghabisi, melumat dan meluluhlantakkan mahligai yang susah payah telah dibina selama bertahun-tahun?
Bagi hati yang benar-benar mencintai, badai adalah ujian. Badai adalah tantangan untuk semakin mengokohkan dan menguatkan.
Dan tentu saja masih bagi hati yang mencintai, tidak akan membiarkan ujian atau tantangan itu berlarut-larut menghantam perasaan. Apalagi sampai menghantarnya ke jurang keputusasaan.
Hati yang mencintai pasti akan segera bangkit. Gegas berdiri. Menyadari dan memaklumi. Bahwa tak ada satu pun mahluk di dunia ini yang luput dari kekhilafan.
Memang terasa sulit untuk memulai semua dari awal. Membuka hati yang terlanjur rajam. Menguak pintu maaf bagi kekasih yang kadung dibenci sekaligus masih dicintai.
Tapi bukan berarti tidak ada celah dan kemungkinan, bukan?
Sungguh, tiada guna membiarkan jiwa berlarut-larut dalam kesedihan. Memulai menata ulang puing yang berserak, mengumpulkan keping demi keping kesabaran yang sempat terkoyak, adalah hal-hal paling mungkin yang masih bisa dilakukan.
Jika rasa itu masih ada, masih tersisa di hati yang sebelumnya dipenuhi oleh indahnya pernak-pernik cinta, maka maafkanlah. Ajaklah ia kembali, kekasih yang pandangannya sempat berpaling ke lain hati. Genggam erat jemari tangannya, selaraskan dengan hatinya, bawa ia bersama-sama lagi menata mahligai yang sempat tergoyahkan.
Namun, senyampang segala upaya, segala jalan telah benar-benar tertutup, mengalami kebuntuan dan hanya ada satu pilihan yakni berpisah, maka sebaik-baik hal yang dilakukan adalah 'tetap memaafkan'.
Andai kita benar-benar mampu melewati tahap-tahap sesulit itu, suatu hari saat kita berdiri di suatu tempat, kita akan tersenyum dan tak ragu mengatakan, "Duhai, memaafkanmu adalah obat paling mujarab bagi luka hatiku."
***
Malang, 04 Juni 2018
Lilik Fatimah Azzahra