Isengnya Bocah Saat Ramadan Tiba

Suara lantang Pak Munawar, marbot musala yang terkenal jutek, membuat langkah kami surut.
"Kita kabur, yuk. Main di tempat lain saja." Salah seorang teman membisiki.
"Jangan. Kita tetap di sini saja. Usai sholat dan mengaji sebentar, nganu ... kita isengin Pak Munawar."
Kali ini, saya yang membisiki.
***
Begitulah. Nostalgia masa kecil Selalu ada kegembiraan dan keceriaan saat bulan Ramadan tiba. Apalagi di zaman dahulu kala, di era tahun 70-an, setiap Ramadan datang sekolah diliburkan sebulan penuh. Praktis waktu terasa jauh lebih panjang.
Tapi kami---para bocah, biasanya sudah punya planing. Pagi-pagi usai makan sahur, acara jalan bareng keliling-keliling kampung. Siangnya berkumpul di tanah lapang.
Nah, ini nih. Meski masih bocah, saat duduk-duduk melingkar di tanah lapang menikmati semilir angin, saya kerap didapuk oleh teman-teman untuk bercerita atau mendongeng. Anehnya, semua terhanyut, terbawa suasana setiap kali saya memperagakan dongeng. Bahkan ada yang sampai berurai air mata jika kisah yang saya ceritakan ber-ending sedih.
Lah, tema dongengnya dari mana? Kadang dari majalah anak-anak yang saya pinjam dari tetangga sebelah rumah. Kadang kalau kehabisan cerita, saya mengarang dongeng secara dadakan. Lucunya, teman-teman tidak ada yang menyadari jikalau apa yang saya ceritakan adalah hasil imajinasi saya sendiri.
Di zaman itu membaca atau mendengarkan dongeng memang kegiatan yang sangat menyenangkan. Maklum, tidak ada hiburan sesemarak sekarang. Kalau pun ada, televisi hitam putih yang layarnya lebih sering dikerumuni semut karena penasangan antene-nya yang kurang pas. Itu pun tidak semua keluarga memilikinya.
Radio? Ada. Tapi suaranya berisik, kadang jelas kadang tidak.
Itulah sebab bermain di alam terbuka saat bulan Ramadan tiba menjadi pilihan terbaik kami, para bocah.