Mudik, Fenomena Kehausan Manusia Akan Kebahagiaan
Mudik adalah kata kerja, dari kata "udik", yang artinya kampung atau desa. Mudik berasal dari "me-udik" yang diartikan sebagai menuju udik. Secara terminologi berarti pulang ke kampung halaman.
Boleh jadi orang menyebut tradisi mudik sebagai bentuk pelepasan kerinduan para perantau kepada romantisme desa yang "adem" dalam arti tenang dan tidak neko-neko . Terkhusus kerinduan pada orang tua dan handai taulan atau sanak saudara dan tetangga.
Kolektivitas dan keguyuban orang-orang desa mampu menundukkan strata jabatan, strata kaya-miskin, strata atas-bawah, kesombongan, kewibawaan, dan kehormatan dan tetap menjaga andap asor atau sopan santun.
Gairah berdesa menjadi pemantik seseorang melepaskan jabatan, identitas formal, dan status sosial. Hanya di desa, pepatah "duduk sama rendah, berdiri sama tinggi" dapat dirasakan. Desa merajut kembali ikatan kekerabatan bahkan pertemanan yang mulai pudar.
Kendatipun mudik kenyataannya tidak selalu berarti pulang ke kampung atau desa dalam arti sesungguhnya dan idak selalu pulang ke tanah kelahiran. Karena tidak sedikit orang yang mudiknya justru di wilayah perkotaan.
Mudik tepatnya lebih bertujuan pulang menemui orang tua atau yang dituakan. Karena dengan demikian kita dapat melihat kegembiraan batiniah yang tidak dipengaruhi oleh macam-macam kalkulasi atau kepentingan politik.
Aktivitas ini merupakan sebuah fenomena budaya yang turun-temurun. Apa yang melandasinya? Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh agama Islam sangat besar. Islam mengajarkan memuliakan para dengan sangat orang tua atau yang dituakan.
Sehingga menjadi kebahagiaan batin tersendiri jika bisa menemui dan menggembirakan mereka secara langsung. Bersulit-sulitpun tetap diperjuangkan, dana yang sangat terbatas, tuslah -- ongkos kendaraan umum yang lebih mahal dari hari biasa, kemacetan, kepayahan dan sejenisnya. Bahkan dalam kondisi seperti ini tetap mengupayakan oleh-oleh yang pantas bagi orang-orang tercinta.
Islam juga mengajarkan menyambung tali silaturrahim. Sanak saudara tidak boleh "kepaten obor" - tidak mengetahui bahwa si A atau si B sebenarnya masih bersaudara atau ada ikatan persaudaraan, Islam sangat menjaga nasab atau keturunan.