RAMADAN Artikel Utama

Akhir dari Tulisan Tinta dan Permulaan Tulisan Cahaya

3 April 2023   15:33 Diperbarui: 7 April 2023   14:52 1762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akhir dari Tulisan Tinta dan Permulaan Tulisan Cahaya
Contoh 'tulisan cahaya' (teks Al-Qur'an) berbasis online, medsos (Sumber gambar: shutterstock via kompas.com)

Anak-anak gaul sudah bisa mengunggah teks Al-Qur'an versi MP4 di ponsel atau di medsos. Siapa yang tidak senang menggunakan ponsel atau medsos di zaman now

Medsos berbahaya sekaligus bermanfaat. Betapa senangnya saya dan Anda saat anak, adik atau keponakan sendiri bisa memainkan ponsel dengan membaca teks tertulis Al-Qur'an sebagai 'tulisan cahaya'. Paling tidak, mereka bisa menyimak tulisan-suara Ilahi yang bersenandung melalui ponselnya.

Tetapi, betulkah akhir dari tulisan manual alias tulisan tinta di atas kertas, seperti di koran, majalah, buku, dan sejenisnya? 

Basis material dari tulisan tersebut tidak usang, melainkan mulai berangsur-angsur kehilangan daya tariknya karena sudah ketinggalan zaman.

Suatu ketika, saya sempat penasaran dengan satu atau dua eksemplar koran yang bertengger di atas meja ruang tunggu di kantor. Saking mata ini "nyantol" terhadap tajuk koran yang saya anggap menarik, lalu saya mencari halaman bersambung. 

"Mengapa ukuran kertas koran nampak kecil dari biasanya?" Begitu gumanku. "Mungkin pengaruh media online, sehingga ukuran koran berbeda dari sebelumnya." Kurang lebih begitu jawaban dari seorang kawan.

Kita lupakan dulu urusan koran. Kita betul-betul ingin tanda ekspresi baru dan bacaan atas teks tertulis baru. 

Kita ingin lebih nyaman, efektif, dan mobile membaca teks Al-Qur'an. Lagi pula, bermodal ponsel atau medsos dengan klik murattal Al-Qur'an 30 juz, misalnya di MP4.

Bacaan atas tulisan cahaya itu muncul di layar internet. Saya biasanya nge-googling tentang murattal Al-Qur'an. Mulai dari Syekh Sudais, Muhammad Taha al-Junayd, Musyaari Rasyid, Hani ar-Rifai hingga Muammar ZA. 

Semuanya kita bisa mengakses teks-suara Al-Qur'an. Saya acapkali membuka file penting yang ada urusannya dengan kegiatan kantor, di folder Personal Computer. 

Saya juga harus mengakui urusan pribadi bercampur dengan urusan kantor sembari mendengar dan sesekali membaca teks tertulis Al-Qur'an secara online di medsos dan di internet.

Murattal Al-Qur'an secara online tidak lebih dari tulisan cahaya. Ia menggantikan tulisan manual. 

Tulisan cahaya berbasis online betul-betul tidak ribet. Kita bisa membaca teks tertulis berupa ayat demi ayat Al-Qur'an yang berjalan di layar secara online. Mudah dan nikmat!

Bagaimana jika saya sedikit mengurai (sekalipun saya bukan ahlinya) dari sudut pandang lain tentang tulisan cahaya (teks Al-Qur'an). Teks tertulis tersebut secara online memungkinkan tersaji di ponsel atau di medsos dan layar-layarnya. 

Tulisan cahaya, ponsel, dan medsos sebagai 'tubuh'. Suatu 'tubuh' yang sedang mengalami 'metamorfosis' sedemikian rupa.

Baiklah, tatapan mata mengikuti penggabungan tubuh dan keriangan, fantasi ringan dan jarak pandang yang pada akhirnya memasuki ruang yang berbeda. 

Ruang tersebut penuh 'tulisan cahaya' memuat teks agama (Al-Qur'an). Tulisan cahaya banyak dibaca oleh kaum muslimin di masjid dan tempat lain. 

Suara Ilahi bergema yang dipadatkan dalam bentuk teks tertulis melalui layar ponsel kerap disenandungkan dalam bulan suci Ramadhan. Permukaan layar media sosial  tanpa cairan kental dalam tubuh dengan rangsangan cerita detektif, dan drama komedi. 

Aura kekerasan cahaya dinetralisir dengan suara-tulisan cahaya Ilahi melalui ponsel atau medsos yang bertujuan untuk mengakhiri perang urat syaraf, hoaks, dan ujaran kebencian. 

Penglihatan mata sekejap digambarkan sebagai percikan cahaya di ujung ruang kegelapan karena membersitkan ingatan-ingatan traumatik dan pergolakan aneh dalam suara Ilahi. Sedangkan, rentetan kegelapan di sekitar kita mengambil analogi tungku api nafsu  yang berkobar-kobar menjelma sebagai suatu energi Ilahi.

Tetapi, nafsu yang padam dan kembali bergejolak menampik ekstase Keilahiaan. Garis-garis masa kegairahan individu yang kita bayangkan termuat dalam dimensi waktu telah 'menjadi binatang berakal' di hadapan hiperealitas

Melalui kegairahan diri yang berada dalam ekstase Keilahiaan, maka tubuh di bawah kilatan-kilatan tajam sebuah tatapan penuh nafsu. Hiperealitas merupakan langkah pasti bagi pengaburan baru dari kebenaran.

Tersembunyi dalam 'wajah hiperealitas yang kusam' sebagai produksi hasrat yang tidak terkontrol. 

Kebenaran, ingatan, dan khayalan akan menjadi kegairahan binatang berakal. Tubuh dengan lompatan, shalat, puasa, zakat, haji, bacaan, tulisan, nyanyian, dan hal-hal yang bisa digambarkan dari dalam tentang binatang berakal yang tipikal.

Tubuh secara murni dirembesi dengan kata-kata, citra, bau, rasa, dan warna disebut kualitas inderawi (Lockean). 

Jenis tubuh ini begitu berbeda dengan tubuh menurut "Aku adalah binatang berakal." Kita mesti banyak belajar terhadap kemandekan atau kelihaian nafsu (dimana pikiran dibuat tidak berkutik saat berhadapan obyek hasrat. 

Setiap orang membaca teks agama (Al-Qur'an) merasa adem setelah merahi tanda-tanda cahaya-Nya.

Dari titik ini, proses 'menjadi binatang berakal' merupakan tugas dan tanggungjawab setiap individu. "Aku adalah binatang berakal" dalam tidur bersama dunia mimpi panjang. 

Dia bersama petualang agung histeria, di setiap realitas terjebak oleh perubahan masa. Satu ciri kontradiksi ringan dari kekaburan dan kecerahan ingatan; kegairahan dibangunkan oleh histeritas mimpi, ingatan, dan tulisan cahaya sebagai tanda ekstase Keilahiaan. 

Maka muncul pertanyaan. Dimana kontradiksi kegelapan dan cahaya saling berdialog, memantulkan percikan hikmah tanpa mimpi buruk menjadi sirna dalam dirinya? 

Tulisan cahaya setelah kegelapan mengarungi jagat realitas baru di antara ruang kosong. Saya sadar, ruang kosong itu lenyap dalam tulisan cahaya (teks agama melalui ponsel atau medsos). 

Ketika warna bercampur aduk dengan tanda ekspresi yang ditanggulangi oleh "Aku adalah binatang berakal," maka permasalahan yang kompleks bakal perlahan-lahan tersingkir dari kehidupan intelektual dan spiritual. 

Suatu obyek pujaan akan lahir ketika sketsa mimpi sebagai pusat pantulan cermin dengan kebenaran yang sama di dunia aktual, kemudian membendakan penyatuan dan pengingkaran tanda kegairahan eksoterik dengan citra tubuh yang terbakar oleh nafsu dalam kelengahan fatal.

Apabila kita memikirkan obyek kamera dalam hiperealitas bergejolak karena sentuhan keras sensasi. Ia layaknya gairah yang kosong dari makna energiknya di dunia pikiran. 

Di sini, tubuh adalah tubuh dari hiperealitas berhasil "menyadap" rahasia citra pikiran. Seperti ada seseorang memiliki hasrat untuk membeli sebuah kamera digital. 

Terlebih awal, obyek yang "menciptakan" hasrat. Tulisan-suara Ilahi di balik tulisan cahaya (bacaan atas teks Al-Qur'an melalui ponsel atau medsos) akan menghidupkan hasrat agar lebih terkontrol dari penggunanya.

Sebagai obyek nyata, karena kamera digital dari ponsel bermanfaat terutama mengambil obyek gambar sesuatu yang juga nyata. 

Kekuatan logika yang dilahirkan oleh pengguna kamera tersebut cukup membosankan, karena nilai sesuatu obyek hanya sebatas nilai kegunaan eksklusif dari dunia maya. 

Dalam kamera itu dilengkapi perhitungan jarak, cakupan-batasan, muatan, dan bahkan jumlah warna terungkapkan. Prinsip logis bukan sekedar nama benda dan berhadapan dengan prinsip estetis. 

Prinsip logis memaksakan sebuah kamera disinari dengan garis cahaya yang dipantulkan oleh obyek yang dipotret. Prinsip estetis menggambarkan cahaya sebagai suatu persfektif kegairahan yang tidak diketahui kesilauan tubuh dengan penglihatan konvensional.

Sebuah obyek yang disorot cahaya melalui lensa yang memantulkan sebuah obyek tertentu tergiring dalam tubuh. Seseorang terlanjur disirami suatu cahaya kamera, dalam pikiran hanya satu, yaitu dunia yang ada dalam dirinya sangat menarik pandangan.

Betapa sebuah sarana pemuasan sensasi sangat menarik, tetapi mustahil tidak menarik prinsip estetis. 

Suatu kamera interior adalah sarana sensasi dan media pergulatan pikiran, karena cahaya yang kuat ditransendensasikan untuk memperjelas bayangan dengan elemen pengaturan otomatis, seperti ketajaman gambar dan efek cahaya sebuah obyek. 

Dalam tulisan cahaya itulah ada "mata" yang bernama kamera. Lantas, penjelasan tentang ketidakjarakan antara obyek dan tulisan cahaya melalui ketajaman sekaligus kekaburan sensorik.

Sebuah kamera dengan tulisan cahaya (teks Al-Qur'an melalui medsos dan internet), makin besar angka diafragma, makin kecil peluang sebuah diafragma atau sebaliknya. Karena semua alat-alat visual tidak lebih dari permainan cahaya. 

Dalam cahaya sebuah benda hanyalah akhir kebutaan yang ada di dalam benda itu sendiri. Misalnya, seorang pembaca, melihat suatu kilatan cahaya dari kamera akan mengakibatkan efek pemancingan sensasi yang terbatas. Memancing  penulis dan pembaca yang mengganggu pikirannya atas pantulan cahaya dari sebuah obyek yang tidak nyata dalam bentuk halusinasi ingatan melalui tulisan cahaya.

Bentuk yang tersembunyi dianggap bukan sebagai seni yang mencerahkan jiwa, mencakup rentetan huruf-huruf Arabik yang teratur dan menukik tajam. 

Apabila kita memikirkan sebuah gambar tercetak melalui lensa kamera hanyalah obyek-obyek sebagai realitas spasial dengan garis dan lingkaran yang menyelimuti dirinya. Pantulan-pentulan tubuh bersama tulisan cahaya bernuansa intelektual dan spiritual sebetulnya tidak tersamarkan dengan ketajaman sensasi mata.

Karena itu, ruang tatapan dan pendengaran yang memisahkan, antara hal yang nyata dengan ilusi, terang dengan gelap. Tulisan cahaya melalui teks agama (Al-Qur'an) berbasis online bersentukan dengan kehidupan adalah sehat. 

Tetapi, berhadapan dengan teks tertulis, titik cahaya tanpa terhalangi oleh cahaya lain karena dinetralisir  keindahan tulisan cahaya yang tidak terkira. 

Pandangan sekilas tidak menggiurkan suatu intelek, karena ia hanya seperti ekspresi ocehan besar bagi sebuah tu;lisan cahaya menyatakan "ketiadaan dunia dalam dirinya sendiri", sesuatu yang tidak jelas, tidak lebih sebagai suatu 'kekaburan dunia'. 

Kejelasan-kejelasan gambar diri yang ambigu dalam sebuah cermin, bukanlah 'pengetahuan diri'. Tetapi, sebuah penjelasan kekaburan yang saya pikirkan dan digembar-gemborkan sebagai pantulan cahaya yang redup dalam ruang kosong. Inilah yang perlu kita panjatkan. Kita mesti menyelidiki sebagai sebuah kamera sebagai bacaan atas teks tertulis dari tulisan cahaya (Al-Qur'an). 

Selama paradoks tubuh dan jiwa, menyingkapkan struktur dan tanda sebagai ekstase Keilahiaan. Kita tidak perlu dunia dari sebuah permainan cahaya, ternyata dibalik makna yang harus dipecah-pecah menjadi sebuah kekusutan absurditas fantasi yang ditata demi dunia lain.

Pembentukan despiritualisasi tulisan cahaya selalu menentang "setan pikiran.'' Tergantung pada kejernihan intelektual dan ketentraman, terlepas dari akar-akar antara apa yang dipikirkan dan apa yang dibayangkan sesuatu. 

Tanpa beban kata, tulisan cahaya bukan halusinasi. Ia adalah sebuah kehidupan dinamis akan memenuhi ruang kosong menjadi ekstase Keilahiaan.

 Saya tidak tidak meyakini bahwa saya berada di awan. Saya dan Anda senang membaca satu atau juz atau lebih tulisan cahaya (teks Al-Qur'an) dalam sehari.

Seorang pembaca tulisan cahaya berarti sang pemuja yang berpikir bagaimana mencermati taburan cahaya lampu jalan yang dianggap sekejap mata. Tetapi, membaca tulisan cahaya (teks Al-Qur'an) melampaui cahaya di balik lampu berpijar terang?  

Dalam kesadaran diri, cahaya optikal di sekitar kita terseret ke arah tanda ekstase Keilahiaan. 

Efek tubuh yang diciptakannya bersifat temporal, dimana kegelapan dunia masih di titik sensasional. Pikiran mengenai cahaya optikal masih berhubungan dengan tubuh yang ditampilkan dunia indera.

Cahaya yang ada pada tubuh setelah mendahului identitas benda.  Kita telah mengarahkan kilatan tajam dari obyek lain menjadi kilatan-kilatan cahaya yang melebur dalam wihdat al-wujud  (unity  of  existence,  kesatuan  wujud) merupakan substansi wujud Tuhan yang tunggal. Ketika kita menerima sinyal-sinyal sederhana dari kesadaran di balik tulisan cahaya. 

Kita akan kembali ke semangat baru dengan waktu bergerak menembus tapal batas dunia fisik. Suatu peristiwa jiwa sebelum dan setelah tubuh menikmati dirinya sendiri melebihi persepsi indera.

Kita begitu mabuk dalam dunia ide, dimana eksistensinya bisa melebur dengan dunia ide. Menurut jiwa, tubuh yang "berubah" secara temporal, tidak terpisahkan dengan dunia indera, kecuali birahi-intelek sebagai sub kegairahan manusia. 

Memang betul, bahwa tubuh dan birahi berkaitan dengan perasaan dan indera. Seperti juga dunia ide, akal atau ruh, mengenainya begitu suram dan tidak memiliki pengetahuan sejati. 

Karena dengan akal, jiwa atau gairah membaca tulisan cahaya (teks Al-Qur'an) tidak dapat dipahami dengan dunia indera. Substansi tidak lebih dari persoalan tentang pemahaman dunia. Neo Platonik menggambarkan nafsu sebagai bagian dari struktur jiwa di bawah akal dan kehendak.

Tatkala gairah membaca tulisan cahaya merupakan pijaran melalui tubuh yang melekat, bayangan diri berada di ambang batas cahaya lain, dari dunia ide.  Kejahatan nafsu menjelma kebajikan yang hadir dalam dunia. 

Saya tidak bisa berbicara lain, bahwa obyek di luar tubuh ekstase Keilahiaan, hasrat, dan gairah untuk membaca tulisan cahaya (teks Al-Qur'an). 

Dunia dari sebuah tahapan 'permainan metamorfosis'. Seringkali kita tidak bisa menerima gagasan lain bagi orang yang berkeinginan melihat dunia lain melalui tulisan cahaya. Satu kali ketukan tangan di atas meja di tengah lingkaran "cahaya" berarti tidak lepas dari suatu tubuh.

 Tulisan cahaya dengan ekstase Keilahiaan terarak-arak melintasi kepucatan para pemimpi, bahwa amarah sebagai sifat paling tipikal yang membekukan dunia. 

Ketidakserasian amarah dan pikiran jernih mendisposisikan kedirian di dunianya sendiri, ketika birahi tidak terkelabui, tetapi,  dunia dapat dinyatakan tetap eksis melalui pengelabuan kosa kata dan gambar. 

Bukan hanya dunia dijadikan 'tulisan asali' (arche-writing), kemudian ditransformasikan pada ide tentang dunia luar, tetapi juga kesamaran logika dipertentangkan dan dibujuk dalam dirinya sendiri.

Syukurlah, masih ada anak gaul dan anak-anak lainnya diantar dengan hasrat dan gairah  membaca tulisan cahaya berbasis online (teks Al-Qur'an melalui medsos dan internet) hingga mengkhatamkan 30 juz selama bulan Ramadhan. 

Ia bukan lagi tatanan alam, tatanan psikis, dan apalagi tatanan tulisan sekadarnya. Dalam sebuah relasi di luar teks dunia yang awalnya buram ditata ulang dengan 'menulis' tentang kegelapan dan cahaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun