Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Jurnalis

Menulis gaya hidup dan humaniora dengan topik favorit; buku, literasi, seputar neurosains dan pelatihan kognitif, serta parenting.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Kesalehan Superfisial

17 Mei 2020   22:58 Diperbarui: 17 Mei 2020   23:07 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesalehan Superfisial
Sumber Ilustrasi:  (inspiradata.com) 

Saya memang bukan penghafal Al-Quran, saya hanya bisa meluangkan waktu 10 sampai 15 menit dalam satu hari untuk mengaji itupun tidak rutin. Dan yang saya maksud mengaji adalah membaca ayat dan terjemahannya, mengulang-ulang terjemahan dan mencari tafsirnya dari buku-buku yang ada atau googling dari tulisan para ulama. 

Selebihnya, saya cenderung tenggelam membaca buku-buku. Banyak dari buku-buku itu juga adalah buku-buku yang membedah Al-Quran dari berbagai sudut pandang kajian. 

Saya pikir, dengan menimpali pembicaraan si teman dengan pengetahuan yang saya baca, diskusi kami itu akan semakin kaya. Tetapi saya tercekat pada kalimatnya.

"Saran saya jangan terlalu membaca buku-buku, kembali lagi ke Al-Quran dan Hadist. Itu adalah pedoman hidup". 

Kalimat itu mirip bukan dengan yang disampaikan  si pengomentar di Youtube? Maka seketika saya kembali terintimidasi oleh teman tersebut. Terintimidasi dalam makna yang sebenarnya. 

Saya tentunya mengimani Al-Quran dan Hadist sebagai pedoman. Tetapi sebagai anak manusia yang tahu kapasitas diri, mempelajari sesuatu yang suci seperti Al-Quran tidak bisa langsung dilakukan sendiri dengan ilmu yang terbatas. Karena itu, untuk mempelajarinya kita dianjurkan berguru dan merujuk pada ulama. 

Bila dipaksakan mempelajari sendiri, yang terjadi adalah penggunaan ayat-ayat Al-Quran tersebut sekehendak atau semaunya secara serampangan. Jangankan sendiri, yang sudah berguru saja, bisa berguru pada yang keliru. 

Tentu ada adab dalam mempelajari agama, salah satunya adalah dengan mempelajari tafsir dari orang-orang berilmu, dan bila itu tidak didapatkan secara langsung, maka bisa dilakukandengan lebih banyak membaca dan memperluas bahan bacaan mengenai pendapat orang berilmu tersebut. Bukankan banyak cendekiawan muslim yang menulis buku, lantas mengapa harus membatasi membaca buku?

Menyarankan agar HANYA membaca Al-Quran dan hadist saja justru akan menimbulkan banyak sekali pertanyaan, mengingat ilmu kita yang terbatas. Bila keliru mencari tempat bertanya, maka keliru pula mengaplikasi ajarannya. Lagipula, bukankah perintah untuk membaca, tidak secara spesifik membatasi hanya membaca Al-Quran saja?

Tetapi baiklah, demi menghormati teman yang saleh tersebut saya tidak menimpali ucapannya. Dan tetap berprasangka baik, bahwa ia saleh dan hanya sedang mengekspresikan kesalehannya.

Di suatu hari yang lain, saya yang aktif di Instagram iseng mengulik aplikasi itu di bagian postingan apa saja yang disukai oleh orang-orang yang saya follow. Saya tertegun pada gambar-gambar yang disukai oleh teman saya yang saleh itu. Ia ternyata ikut menyukai beberapa gambar pose wanita tanpa busana. Maka, untuk ketiga kalinya, saya merasa terintimidasi. Kali ini, karena saya tertipu kesalehan superfisial atau kesalehan di permukaan, kesalehan yang begitu dangkal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun