Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/
Ayahku Seorang Martir
Pagi itu aku masih kesal pada sosok yang semakin tua dengan kulitnya yang kian keriput. Tapi, berbeda dengan fisiknya yang masih tegap, berperawakan tinggi dan juga selalu tersinggung senyum simpul tipis diujung bibirnya.
Aku masih tak setuju ketika Ayah menerima tawaran menjadi seorang petugas keamanan di Gereja yang cukup jauh dari rumah. Ia menerima bukan karena alasan materi, tapi karena alasan ingin memberikan rasa aman pada pemeluk agama lain.
Aku memang satu-satunya anak yang menentang keputusannya. Aku pikir, ia bisa mendapatkan pekerjaan lain. Tak harus di Gereja.
"Ayo nak, kita sarapan dulu." kata ayah mengajakku dan adikku untuk sarapan bersama sebelum berangkat ke sekolah.
Kebiasaan sehari-hari yang tak pernah dilewatkan oleh Ayah. Apalagi aku harus diantar ayah setiap pagi demi menghemat ongkos.
Setelah ayah mengantarku ke salah satu SMA terkenal di Surabaya dengan motor bututnya, kemudian giliran mengantarkan adikku di salah satu SD, dekat dengan tempat kerjanya di sebuah Gereja.
Sebenarnya pekerjaan Ayah tergolong tidak terlalu ketat. Ia sudah 5 tahun mengabdi di Gereja itu. Ia bisa pulang sementara, ketika adik pulang sekolah. Sementara aku memilih menggunakan angkutan umum.
"Pokoknya kakak gak setuju ayah kerja di Gereja!" pekikku waktu itu.
"Ayah kan bisa cari kerjaan lain, asal bukan di Gereja. Kenapa harus Gereja yah?" buruku dengan sorot tajam.
Aku kecewa Ayah tak mau mendengarkan pendapatku. Sementara Ibu, tak banyak bicara dengan pilihan Ayah. Adikku masih terlalu kecil untuk memahaminya.
Ayah tak banyak memberikan alasan dan penjelasan yang konkrit padaku. Yang kutahu, Ayah cuma ingin membantu temannya seorang pastor di Gereja itu.