Frans Leonardi
Frans Leonardi Akuntan

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Mengapa Banyak Mitos Makanan di Indonesia

4 April 2025   10:21 Diperbarui: 4 April 2025   10:21 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengapa Banyak Mitos Makanan di Indonesia
Makanan sehat(shironosov)

Kalau kamu pernah mendengar larangan minum es karena dianggap bisa membuat perut membesar atau pantangan makan pisang saat hamil karena bisa menyebabkan bayi lahir sungsang, kamu tidak sendirian. Di Indonesia, mitos seputar makanan berkembang begitu luas dan dipercaya oleh banyak orang. Bahkan, tidak sedikit yang masih memegang teguh kepercayaan ini meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukungnya.

Fenomena ini menarik untuk dibahas. Bagaimana mungkin informasi yang tidak terbukti secara ilmiah bisa bertahan turun-temurun dan tetap dipercaya hingga sekarang? Mengapa di Indonesia, mitos makanan begitu banyak dibandingkan dengan negara lain? Untuk memahami ini, kita perlu menelusuri akar penyebabnya, mulai dari sejarah, budaya, hingga dampak teknologi dalam penyebaran informasi.

Makanan, Budaya, dan Tradisi

Di Indonesia, makanan bukan hanya sekedar sumber energi, tapi juga bagian dari identitas budaya dan sosial. Setiap daerah memiliki kuliner khas yang tidak hanya berbeda dari segi rasa dan bahan, tetapi juga kaya dengan makna filosofis serta aturan tak tertulis yang ada didalamnya.

Misalnya, di Jawa, ada kepercayaan bahwa makan nasi yang tidak dihabiskan akan membuat petani yang menanam padi menangis. Sementara itu, di Bali, beberapa jenis makanan dianggap sakral dan hanya boleh dikonsumsi dalam upacara adat tertentu. Kepercayaan semacam ini menunjukkan bahwa makanan lebih dari sekadar kebutuhan biologis, tetapi juga bagian dari sistem sosial dan budaya masyarakat.

Dalam konteks ini, mitos makanan sering kali muncul sebagai bentuk pengendalian sosial. Mitos yang melarang anak-anak makan berlebihan sebelum tidur, misalnya, bisa jadi dibuat agar mereka tidak mengalami gangguan pencernaan. Namun, karena zaman dulu akses terhadap informasi ilmiah masih terbatas, alasan-alasan seperti ini sering kali dikemas dalam bentuk mitos yang mudah diingat dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Kurangnya Literasi Gizi Antara Mitos dan Fakta

Salah satu alasan utama mengapa mitos makanan masih ada dan dipercayai hingga sekarang adalah kurangnya literasi gizi di masyarakat. Banyak orang lebih mempercayai informasi yang disampaikan oleh orang tua atau sesepuh daripada mencari tahu kebenarannya melalui penelitian ilmiah.

Ambil contoh mitos bahwa minum susu setelah makan ikan bisa menyebabkan keracunan. Mitos ini begitu populer dan dipercaya oleh banyak orang, padahal faktanya tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim tersebut. Satu-satunya alasan seseorang bisa mengalami reaksi buruk setelah mengonsumsi keduanya adalah jika ia memiliki alergi terhadap salah satu bahan tersebut, bukan karena interaksi antara ikan dan susu itu sendiri.

Selain itu, mitos tentang micin atau MSG (monosodium glutamate) yang dianggap bisa menyebabkan kebodohan juga telah terbantahkan oleh berbagai penelitian ilmiah. Faktanya, MSG adalah penambah rasa yang aman dikonsumsi dalam jumlah wajar, dan tidak ada kaitannya dengan penurunan fungsi otak. Namun, karena mitos ini sudah menyebar luas selama bertahun-tahun, banyak orang yang tetap mempercayainya tanpa mempertanyakan lebih jauh.

Penyebaran Informasi di Era Digital dan Mitos Makin Sulit Dihentikan

Dulu, mitos makanan hanya berkembang dari mulut ke mulut dalam lingkup keluarga atau komunitas kecil. Namun, di era digital, informasi termasuk yang salah menyebar jauh lebih cepat dan luas.

Media sosial menjadi salah satu media utama dan tempat dimana keberlanjutan mitos makanan. Banyak orang lebih mudah mempercayai informasi yang viral tanpa memverifikasinya terlebih dahulu. Jika ada seseorang yang membuat unggahan tentang bahaya suatu makanan tanpa dasar ilmiah yang kuat, kemungkinan besar informasi tersebut akan dengan cepat menyebar dan dipercaya oleh banyak orang, terutama jika dikemas dengan bahasa yang meyakinkan.

Lebih buruk lagi, algoritma media sosial sering kali memperkuat bias informasi. Ketika seseorang mencari informasi tentang suatu makanan dan menemukan artikel yang mendukung mitos tertentu, platform digital akan cenderung merekomendasikan konten serupa, sehingga ia semakin yakin dengan informasi yang mungkin keliru.

Mitos Makanan dan Kaitan dengan Kepercayaan Spiritual

Selain faktor budaya dan kurangnya literasi gizi, mitos makanan di Indonesia juga erat kaitannya dengan kepercayaan spiritual. Banyak makanan dianggap memiliki efek mistis atau bisa membawa keberuntungan dan kesialan.

Misalnya, ada kepercayaan bahwa makan sate sebelum menghadiri pernikahan bisa membuat acara tersebut batal. Beberapa orang juga percaya bahwa makan telur dengan nasi pada malam hari bisa menyebabkan kesulitan ekonomi. Kepercayaan semacam ini sering kali tidak memiliki dasar logis, tetapi tetap dipercaya karena sudah menjadi bagian dari sistem kepercayaan masyarakat.

Dalam banyak kasus, mitos makanan yang berkaitan dengan spiritualitas sulit dibantah dengan pendekatan rasional karena menyangkut aspek kepercayaan yang bersifat subjektif. Seseorang yang sudah mempercayai mitos semacam ini sejak kecil mungkin akan merasa tidak nyaman atau bahkan takut untuk melanggarnya, meskipun ia menyadari bahwa tidak ada bukti ilmiah yang mendukungnya.

Dampak Mitos Makanan terhadap Gaya Hidup dan Kesehatan

Kepercayaan terhadap mitos makanan tidak hanya memengaruhi cara orang memilih makanan, tetapi juga dapat berdampak pada kesehatan mereka.

Misalnya, ada mitos yang mengatakan bahwa penderita diabetes tidak boleh makan buah karena mengandung gula alami. Padahal, banyak jenis buah yang sebenarnya aman dikonsumsi oleh penderita diabetes, asalkan dalam porsi yang pas dan sesuai serta tidak berlebihan. Jika seseorang percaya pada mitos ini dan menghindari buah sepenuhnya, ia bisa kehilangan banyak nutrisi penting yang sebenarnya dibutuhkan oleh tubuhnya.

Di sisi lain, ada juga mitos yang justru membuat orang mengonsumsi sesuatu secara berlebihan. Contohnya, banyak orang percaya bahwa mengonsumsi madu dalam jumlah besar akan memberikan manfaat kesehatan tanpa efek samping. Padahal, meskipun madu memiliki manfaat tertentu, konsumsi berlebihan tetap bisa menyebabkan lonjakan gula darah dan berisiko bagi penderita diabetes.

Bagaimana Cara Mengatasi Mitos Makanan?

Meskipun mitos makanan sudah mengakar kuat di masyarakat, bukan berarti kita tidak bisa mengubahnya. Salah satu cara terbaik untuk mengatasi penyebaran mitos adalah dengan meningkatkan literasi gizi di masyarakat.

Edukasi tentang makanan dan nutrisi harus lebih banyak disebarkan, baik melalui sekolah, media sosial, maupun kampanye kesehatan oleh pemerintah. Para ahli gizi dan tenaga kesehatan juga perlu lebih aktif dalam memberikan informasi yang benar kepada masyarakat, sehingga mereka memiliki alternatif sumber informasi yang lebih dapat dipercaya.

Selain itu, penting bagi setiap individu untuk lebih kritis dalam menerima informasi. Sebelum mempercayai suatu klaim tentang makanan, cobalah untuk mencari tahu sumbernya dan apakah ada penelitian ilmiah yang mendukungnya. Jangan langsung percaya hanya karena informasi tersebut viral atau dikatakan oleh seseorang yang dianggap berpengalaman.

Kesimpulan

Mitos makanan di Indonesia berkembang karena berbagai faktor, mulai dari warisan budaya, kurangnya literasi gizi, hingga penyebaran informasi yang tidak terkontrol di era digital. Meskipun beberapa mitos mungkin memiliki tujuan baik, banyak di antaranya yang justru menyesatkan dan berpotensi merugikan kesehatan.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk lebih kritis dalam menyikapi informasi tentang makanan. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang nutrisi dan ilmu pangan, kita bisa membuat pilihan makanan yang lebih sehat dan tidak terjebak dalam informasi yang salah. Makanan seharusnya dinikmati dengan kesadaran, bukan dengan ketakutan akibat mitos yang belum tentu benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Nunggu Bedug Makin Seru di Bukber Kompasianer

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.

Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun