Tradisi Nyadran Budaya di Kota Sidoarjo pada Masyarakatnya
Indonesia memiliki kekayaan yang sungguh tak ternilai, baik kekayaan alam, suku, bahasa, maupun budaya. Budaya memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan. Seperti Agama dapat menunjukkan suatu moral sebagai pembenaran suatu kehidupan. Selain itu, kebudayaan lain seperti kesenian pun bisa ditemukan di berbagai macam wilayah di bumi ini.
Kesenian dapat membantu dalam unsur mata pencaharian yang identik dengan masyarakat Indonesia. Suatu hubungan kondisi lingkungan memengaruhi mata pencaharian dari masyarakat yang bermukim disekitarnya sehingga berpengaruh pula terhadap hadirnya suatu tradisi.
Kearifan lokal dalam masyarakat memiliki banyak jenis yang dapat berupa budaya antara lain seperti, nilai, etika, norma, adat istiadat, kepercayaan, ritual, dan hukum adat. Misalnya, pada salah satu daerah di Jawa Timur yang terkenal dengan "Lumpur Lapindo" yaitu Kabupaten Sidoarjo yang memiliki kearifan lokal "Nyadran".
Nyadran adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mengagungkan, menghormati, dan memperingati roh leluhur agar jiwanya tentram di alam keabadian. Upacara Nyadran dilakukan sebagai bentuk syukur dan rasa terima kasih bagi kaum nelayan kepada Yang Maha Kuasa. Selain itu, upacara Nyadran juga dilakukan sebagai wujud penghormatan dan mendoakan arwah Dewi Sekardadu.
Tradisi Nyadran pertama kali muncul ketika ditemukannya jasad Dewi Sekardadu yang meninggal dikarenakan mencari putranya-Raden Paku-yang dibuang ke laut oleh Raja Minak Sembuyu, yang merupakan ayah dari Dewi Sekardadu. Tradisi ini dilakukan oleh para nelayan yang bertempat tinggal di Desa Balongdowo, Desa Bluru Kidul, dan Desa Sawohan (Aliyah, 2021).
Tradisi ini pada umumnya dilakukan hanya sekali dalam setahun dan sebelum bulan puasa. Masyarakat yang melakukan upacara Nyadran hampir seluruhnya beragama Islam dan menganut ajaran dari Wali Songo. Selain itu, Nyadran tidak hanya berkaitan dengan sebuah tradisi kelautan, namun juga berkaitan dengan tradisi pada masyarakat pertanian.
Pada umumnya, masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pesisir bermata pencaharian sebagai nelayan. Selain lingkungannya yang dapat mempengaruhi perilaku warga disekitarnya juga karena dapat membantu mendukung kehidupan mereka.
Tradisi upacara Nyadran yang dilakukan oleh masyarakat Desa Balongdowo, Desa Bluru Kidul, dan Desa Sawohan dilaksanakan pada bulan yang berbeda. Warga Desa Balongdowo dan Sawohan melaksanakan tradisi Nyadran menjelang puasa, sedangkan Warga Desa Bluru Kidul melaksanakan tradisi Nyadran pada bulan Maulud.
Secara umum, pelaksanaan tradisi budaya upacara Nyadran dapat terbagi dalam tujuh tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap pemberangkatan, tahap pembuangan seekor ayam, tahap larung sesajen, tahap ziarah makam Dewi Sekardadu, tahap pencarian kupang, dan yang terakhir tahap kembali pulang.
Namun, tradisi Nyadran mengalami perubahan pada pelaksanaannya sejak kondisi kehidupan masyarakat mengalami pandemi Covid-19. Tradisi Nyadran saat pandemi tidak dilakukan sebagaimana sesuai rancangan setiap tahun seperti tujuh tahapan yang telah dijelaskan.
Misalnya, diganti dengan kegiatan doa dilaksanakan secara mandiri di rumah masing-masing, dikarenakan panduan dari pemerintah agar masyarakat menjalankan protokol kesehatan.
Tradisi Nyadran telah dijadikan sebagai warisan budaya yang tidak boleh dilupakan oleh generasi selanjutnya. Di era modernisasi saat ini hal ini menjadi perdebatan, karena upacara tradisi ini dianggap masih seperti dengan anutan kepercayaan dinamisme.
Namun, masyarakat mempercayai bahwa jika tidak melakukan Nyadran, maka tangkapan kupang mereka (para nelayan) akan berkurang dan banyak para nelayan yang pulang menjadi kerasukan setelah mengambil kupang. Jika dikaitkan dengan kajian psikologi maka hal ini mempengaruhi persepsi masing-masing individu.
Persepsi merupakan bagian dari kognisi yang berarti suatu proses pemaknaan (interpretasi) dari informasi yang diperoleh. Stimulus yang berlimpah di lingkungan, pertama kali akan ditangkap oleh indera manusia.
Tetapi, adanya keterbatasan kemampuan pada indera dan kognitif, menjadikan adanya suatu proses seleksi stimulus yang memberi kesan yang paling kuatlah yang akan lolos diterima (Dayakisni & Yuniardi, 2004). Hal ini sesuai dengan apa yang dialami oleh masyarakat yang bermatapencaharian nelayan di Sidoarjo tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Selain itu, meskipun kehidupan saat ini tengah dilanda sebuah pandemi bukan menjadi alasan untuk melupakan dan mengabaikan suatu budaya. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Sidoarjo yang berada di Desa Balongdowo, Desa Bluru Kidul, dan Desa Sawohan mereka tetap menjalankan upacara Nyadran dengan kegiatan doa di rumah masing-masing sesuai protokol kesehatan panduan pemerintah. Mayoritas yang melaksanakan atau mengadakan tradisi Nyadran ialah golongan tua.
Golongan muda pada zaman sekarang seperti kurang tertarik untuk meneruskan dan melestarikan tradisi ini dikarenakan mereka lebih tertarik untuk meniru kebudayaan asing daripada kebudayaan lokal. Namun, bukan berarti hanya membiarkan begitu saja melainkan tradisi Nyadran ini dapat dibuat lebih semenarik mungkin pelaksanaannya agar menarik perhatian kepada wisatawan asing atau dapat juga menggaet kalangan pemuda yang menyukai sebuah kebudayaan untuk membantu melestarikan dan memamerkan tradisi Nyadran ini karena tradisi Nyadran ini akan dapat terus menjadi tradisi jika terdapat generasi muda yang ikut melestarikannya.