Santri Darul Ulum Banyuanyar Alumni IAI Tazkia Wasekum HAL BPL PB HMI 2018-2020 Ketua Bidang PA HMI Cabang Bogor 2017-2018
Simbol dan Sejarah Lailatul Qadar
Malam lailatul qadar adalah momen yang ditunggu oleh umat Islam terutama saat memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Secara harfiah, lailatul qadar berarti "malam kemuliaan". Di malam itulah, Allah SWT menurunkan al-Qur'an. Saking mulianya malam tersebut, Allah SWT mendefinisikan lailatul qadar bahwa ia lebih baik daripada seribu bulan tanpa kejelasan kapan terjadinya.
Karena itulah, banyak ragam cara umat Islam dalam menyambut malam yang mulia tersebut, misalnya, melakukan i'tikaf (berdiam diri di masjid) sepanjang malam, sholat tahajud, membaca al-Qur'an dan ibadah-ibadah lainnya. Namun, apakah semua umat Islam mendapatkan apa yang ditunggunya? Rasanya, tidak mungkin semua umat Islam mendapatkan lailatul qadar. Hanya segelintir orang yang bisa mendapatkannya.
Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW bersabda kepada para sahabatnya yang sedang berkumpul menunggu malam lailatul qadar di masjid Madinah bahwa lailatul qadar insya Allah akan datang malam itu juga, karena Nabi telah melihatnya dalam ru'yah bahwa akan ada hujan deras kemudian Nabi belepotan lumpur dan basah kuyup oleh air. Para sahabat pun membubarkan diri karena masjid Madinah pada saat itu sangat sederhana yang atapnya terbuat dari daun kurma sehingga bila terjadi hujan deras, maka dengan sendirinya air pun masuk ke lantai masjid yang terbuat dari tanah.
Pada malam itu terjadi hujan deras. Sebagian sahabat melihat apa yang disabdakannya. Nabi sholat dalam keadaan basah kuyup, sementara muka dan badannya berlumur lumpur. Lalu apa yang dimaksud dengan lailatul qadar? Tak lain, Nabi hanya menjelaskannya dengan metafora.
Karena lailatul qadar adalah persoalan ruhani, maka tidak ada kosakata yang cukup untuk menjelaskannya sehingga digunakanlah simbol-simbol. Kemudian, disinilah digunakan tafsir atau takwil. Keadaan Nabi yang basah kuyup oleh air serta belepotannya muka dan badan Nabi dengan lumpur adalah peringatan bagi kita semua bahwa jenjang tertinggi dari pengalaman ruhani ialah kalau kita sudah kembali ke asal. Atau setidaknya, kita sadar dari mana kita berasal.
Kita berasal dari dua unsur. Pertama kita berasal dari tanah dan air, sedangkan unsur yang kedua kita berasal dari ruh Allah SWT yang ditiupkan oleh-Nya kepada kita sehingga kita hidup. Kemudian, semuanya itu akan kembali ke asalnya masing-masing tanpa kita mengetahui kapan, dimana dan dengan cara seperti apa kita akan kembali.
Sholat yang didirikan oleh Nabi pada saat itu merupakan perlambang atau simbol kesadaran akan asal kita yaitu ruh Allah SWT yang akan kembali kepada-Nya. Sedangkan, air dan lumpur yang menempel pada saat Nabi mendirikan sholat yaitu kesadaran akan asal jasad kita yaitu tanah dan air yang akan kembali kepadanya pula. Kesadaran itulah yang harus ditanamkan dalam diri kita masing-masing.
*****
Kita tahu bahwa al-Qur'an pertama kali diturunkan pada bulan Ramadhan baik secara keseluruhan maupun secara berangsur-angsur. Terutama bahwa al-Qur'an diturunkan pada malam lailatul qadar sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam surat ke-97, al-Qadr (kemuliaan). Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kalinya adalah ketika beliau baru berusia 40 tahun dimana dalam usia itu beliau suka mengasingkan diri di goa Hira' yang terletak di jabal (gunung) nur.
Di goa itulah Nabi mulai memikirkan kondisi masyarakatnya yang berada dalam kejahiliyahan (kebodohan) dan kesesatan yang nyata. Sehingga, beliau merindukan cahaya petunjuk dari Tuhan untuk membebaskan manusia dari kesesatan dan kegegelapan jahiliyah. Kemudian hal itu dijawab oleh Allah SWT dengan menurunkan wahyu-Nya yang pertama melalui malaikat Jibril yaitu surat al-Alaq ayat 1-5.
Dalam wahyu tersebut Allah SWT memerintahkan untuk membaca dengan menyebut nama Tuhan (Rab) yang menciptakan. Membaca disini bermakna luas tidak hanya membaca yang konkret tapi juga yang abstrak, tidak hanya qauliyah (kata-kata) tapi juga kauniyah (alam), tidak hanya individu atau pribadi tapi juga sosial atau masyarakat dan seterusnya dengan tidak melupakan nama Tuhan yang menciptakan.
Lalu, ayat berikutnya menyebutkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia dari darah. Kalau kita kaitkan pada sabda Nabi diatas bahwa kita diberikan pengetahuan yang harus kita sadari bahwa asal-muasal kita yaitu dari tanah dan air yang mengalir dalam tubuh kita berbentuk darah.
*****
Kalau kita tilik dari penjelasan diatas, maka lailatul qadar adalah sebuah momen di malam hari di bulan Ramadhan yang tidak semua umat Islam -- tetapi semuanya berpotensi -- mendapatkan momen tersebut yang entah kapan akan terjadinya. Yang jelas, hanya manusia yang mempunyai pengalaman ruhani yang tinggi yang akan mendapatkan momen lailatul qadar.
Dengan kesadaran akan asal-muasal kita, maka konsekuensi logisnya adalah rendah hati. Sifat itulah yang akan membawa kita pada kedamaian, keselamatan dan kebahagiaan sampai kita benar-benar kembali pulang kepada asal-muasal kita. Lawan dari rendah hati adalah sombong. Sifat tersebut merupakan sifat iblis yang dengan sombongnya merasa lebih baik dari pada Nabi Adam AS dan sifat itulah yang harus kita hindari karena akan membawa kita pada kesengsaraan dan kesesatan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Melihat awal mula turunnya wahyu (al-Qur'an) kepada Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa kita tidak diperkenan hanya memikirkan kedamaian, keselamatan, dan kebahagiaan diri sendiri baik di dunia maupun di akhirat, akan tetapi juga untuk seluruh umat manusia serta seluruh alam semesta karena memang itulah watak Islam yang rahmatan lil a'lamin, tentu dengan bekal ilmu sebagaimana wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yaitu iqra' (membaca).
Lalu apa makna seribu bulan? Secara matematis, seribu bulan sebanding dengan 83,33 tahun. Sementara itu, rata-rata usia manusia paling tua setelah Nabi Muhammad SAW adalah sekitar 60-an tahun, lebih dari itu adalah bonus belaka. Maka, sejatinya orang yang mendapatkan lailatul qadar ia akan menebarkan kedamaian, keselamatan dan kebahagiaan sepanjang hidupnya. Wallahu a'lam bil shawab.