Hani Rai
Hani Rai Petani

blogging, handcrafting, journaling, eco farming

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Belanga Perajut Toleransi

31 Maret 2024   21:00 Diperbarui: 31 Maret 2024   21:12 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belanga Perajut Toleransi
Sumber : pribadi

Tersebutlah di sebuah daerah transmigrasi di sisi barat pulau Sulawesi, hiduplah bersama orang Mandar, Bugis, Toraja, Jawa, NTT, Lombok (mereka tidak menyebut dirinya orang NTB), Sunda, Bali, dll. Mereka adalah transmigran yang berhasil bertahan dan menyemai kehidupan baru di tanah harapan.

American Dream
Tiap etnis biasanya punya pemukiman sendiri. Ada SP (Satuan Pemukiman)1, SP 2, SP 3, dst yang ditata program transmigrasi dulu. Maka terbentuklah kawasan yang mayoritas dihuni etnis tertentu. Misalnya ada daerah orang NTT, daerah yang banyak orang Torajanya, yang biasanya didirikan gereja untuk tempat ibadah.

Orang Bali biasanya punya kampung Bali yang asri dengan aneka rupa tanaman bunga dan pohon buah-buahan. Di sana juga ada pura sebagai tempat peribadahan. Sementara lainnya hidup bercampur dan ada masjid sebagai tempat ibadah orang islam.

Saya sering bertanya dalam hati, bagaimana cara mereka bertahan hidup di kawasan yang dulunya hutan (dan masih hutan) ini? Saya yakin, kalau saya hidup di sini dalam waktu lama, bisa kelimpungan. Tidak ada kelimpahan akses dan informasi beserta kemudahannya seperti di kota.

Ternyata yang menyatukan semua adalah harapan untuk hidup lebih baik. Harapan untuk membuka peluang baru, yang mungkin di tempat asalnya sudah dikuasai oleh tuan tanah,  pendatang sukses atau orang terdidik.

Harapan untuk tinggal di tanah yang lebih subur. Atau harapan untuk berusaha mandiri. Orang- orang yang berani keluar dari tempat asalnya  untuk memulai hidup baru dari nol ini adalah orang-orang tangguh.

Harapan itu dicapai dengan menjadi petani plasma, menjadi karyawan perusahaan sawit, menjadi pedagang, nelayan, tukang, pemilik warung, menjadi pns, menjadi pendakwah, dll. Pendeknya, segala sisi kehidupan disangga dan dipenuhi oleh berbagai etnis yang hidup dan bertumbuh bersama. Mungkin inilah yang disebut American Dream versi lokal.

Saat Alat Masak menjadi Penting
Salah satu yang tidak terpikir oleh saya adalah concern mereka saat hajatan. Orang NTT dan Toraja makan babi. Dengan demikian peralatan makan dan masak berpotensi tersentuh babi. Mereka tahu kalau orang islam tidak makan babi. Dan tetangga muslim yang diundang hajatan kawinan kemungkinan tidak datang dan tidak makan. Lalu apa yang mereka lakukan ?

Saudara-saudara nasrani ini meminta kawan-kawan muslim untuk turut memasak dengan peralatan milik orang muslim atau (kalau ada) menggunakan belanga inventaris milik bersama. Memasaknya secara terpisah agar bahan dan alat masak tidak tercampur.


Karena perkara masak memasak ini dikerjakan bersama, maka informasi perihal makanan akan tersebar dan menjadi penguat. Misalnya bahwa makan di hajatan Mama Rio aman, karena yang masak orang islam. Apabila masih tidak yakin, tamu muslim datang menghormati undangan tuan rumah dan hanya memilih minum air kemasan.Pun demikian halnya, jika ada acara arisan atau pertemuan atau bahkan giliran menyiapkan nutrisi makanan dengan penanggung jawab  saudara nasrani, maka yang bersangkutan akan memesan kue di tempat saudara muslim.

Kalau perlu, tuan rumah akan meyakinkan tamu bahwa kue ini dipesan di Mama Bagas, misalnya. Dan sebagai minuman, biasanya air minum kemasan, atau botol soda spesial saat hari raya. Tidak ada minum pakai gelas. Satu sisi demi kepraktisan, sisi lain demi menjaga satu sama lain.

Untuk itulah perlunya wajan, belanga, dandang  yang dimiliki paguyuban/inventaris bersama. Dengan alat masak yang bisa dipinjam dan digunakan bersama, akan meminimalisir kecurigaan dan kekhawatiran atas halal haramnya makanan.

Jangan pikirkan catering ya. Di daerah, setiap hajatan biasanya dikerjakan bersama, dimasak bersama. Di sini juga sebagai ajang kumpul-kumpul dan mempererat persaudaraan. Sebagai acara bersama, dengan alat masak bersama, dimasak bersama, dimakan bersama.

Bagi ibu-ibu, dari hiruk pikuk memasak itulah akan tercipta kebersamaan dan kehangatan. Tak peduli dari etnis mana dan agama apa. Makan paling enak ya makan saat masak bersama itu. Suasananya cair.


Sumber : pribadi
Sumber : pribadi
Tak jarang, saat hari pasar (di sana pasar hanya 2x seminggu), mereka beli ikan, sagu dan sayur mayur untuk kemudian membuat kapurung. Kapurung adalah sup sagu kuah ikan dengan sayuran dan kacang. Dimasak dalam belanga besar, ditambah sambal terasi dan jeruk nipis. Aih enaknya. Tak peduli dari suku apa, agama apa, mereka kumpul makan bersama. Dan memang, biasanya tempat masak kapurung di rumah orang muslim.

Sebagai orang yang dibesarkan di tempat yang relatif homogen, saya baru mengetahui sedalam itu perhatian orang tentang alat masak. Dan ini benar, nyata adanya.

Bu Guru Orang Apa ?
"Orang Indonesia !"
"Bukan, maksudnya orang Jawa kah, Sunda kah ?"
Tampaknya jawaban saya sebagai orang Indonesia belum cukup memuaskan rasa ingin tahu.

Awalnya saya merasa aneh dengan pertanyaan yang diajukan murid-murid SD ini. Namun keanehan menghilang karena perkara identitas ini penting. Identitas merupakan sign and signifying others. Kamu sama denganku atau kamu lain denganku. Biar begitu, kita berkawan. Kita bekerja bersama-sama.  

Tidak ada maksud rasis, hanya ingin tahu saja. Maka sudah biasa kalau ada komentar, 'orang bugis, dik,' ' orang jawa, dik', 'orang mandar, dia,' dll. Mungkin karena sesama perantau, mereka perlu tahu identitas orang - orang di sekitarnya.  

Bicara tentang toleransi, guru atau pendidik punya peran yang sangat penting dalam menanamkan nilai penghargaan atas keberbedaan.

Lihatlah kelas ini, dari wajah dan nama saja, guru akan tahu dari etnis mana dia berasal. Dari sikap, penampilan, dan perilaku, guru akan tahu bagaimana strata ekonomi keluarga muridnya berasal. Jikalau ada perilaku yang membuat kesal, jangan sampai dibawa ke arah etnisitas. Perlakukan anak didik sebagai anak-anak istimewa.

Maka saya mencoba melepaskan belenggu stereotip atas segala etnis (termasuk saya sendiri) dan menganggap mereka sebagai anak-anak, tanpa embel-embel etnis dan agama. Anak-anak itu tahu mereka dari etnis apa, dan teman mainnya dari etnis apa. Untungnya, mereka bersekolah, mereka main, ya main saja.  Meskipun itu semua akan kembali pada pendidikan dalam keluarga dan lingkungan di sekitarnya.

Demikian praktek bertoleransi yang saya temui. Sederhana namun menghargai. Karena kita hidup bersama, berjuang bersama. Kalau ada apa-apa, siapa yang tolong? Ya tetangga. Jauh dari tanah asal, dan mungkin tidak pernah pulang ke asal. Karena di sinilah tempat hidup baru, turun temurun beregenerasi, dan menjadi harapan baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun