Hidup adalah perpaduan cinta, tawa, dan luka. Menulis menjadi cara terbaik untuk merangkai ketiganya.
Menaklukkan Rasa Takut untuk Membangun Toleransi: Refleksi dari Cangkrukan Spesial Ramadan
Kita tidak perlu mentolerir rasa takut, tidak mesti semaput dengan gundah gulana.
Coba saja, nyali atau rasa takut yang seharusnya ciut!
Apakah kamu punya rasa takut? Apa ketakutan terbesar dalam hidupmu?
Galibnya, hampir setiap jenak dalam hidup kita dibombardir oleh rasa takut. Setiap paragraf dalam sebilang tarikan nafas dididik oleh rasa takut.
Di sekolah, ditakut-takuti dengan nilai jeblok, tidak naik kelas. Bahkan belajar agama pun ditakut-takuti dengan ancaman neraka.
"Menurut saya, lingkungan berpengaruh terhadap apa yang ada di dalam diri," kata Wanetri Imanuela dalam Cangkrukan Spesial Ramadan bertajuk Saling Memahami & Saling Mengerti Antar Umat Beragama di GKI Ngupasan, Yogyakarta pada Senin, 25 Maret 2024 lalu.
Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan nan diliputi rasa takut, kemungkinan besar akan mewarisi rasa takut tersebut seperti tidak berani berargumen, takut salah.
"Orang di kiri dan kanan kita berperan besar untuk membentuk apa yang ada di dalam (batin)," lanjut Wana.
Ketakutan tidak hanya melumpuhkan potensi seseorang, tetapi juga membatasi ruang batinnya. Rasa takut mendorong seseorang untuk "mengamankan diri" dengan mempersempit pola pikir dan ruang batinnya.
Akibatnya, mereka melihat perbedaan (iman, pandangan hidup, dan sebagainya) dengan rasa takut, stereotip, dan cemas.
Wana menyitir ceramah Gus Dur di Universitas Kristen Petra Surabaya pada 18 Juni 1996 berjudul Kerukunan Antar-Umat Beragama Masih Rawan, yang mengangkat isu 'pemekaran ruang batin'.
Apa yang ada di luar diri kita, seperti lingkungan sebagaimana yang Wana sebutkan tadi, memang tidak bisa kita kendalikan. Pengaruhnya terhadap diri kita pun sangatlah besar, salah satunya adalah rasa takut itu sendiri.