Hobi baca buku sastra, filsafat, dan matematika. Pernah suka fisika, seni, dan olahraga.
Bagaimana Sih Waktu Berpuasa di Luar Indonesia?
Baru-baru ini saya paham mengapa jumlah penduduk Islam di wilayah Eropa begitu minoritas.
Bisa jadi karena dikaitkan dengan budaya dan tradisi Arab dalam pakaian dan politik yang sudah tidak relevan. Atau bisa jadi karena adanya statement tak dikenal yang berbunyi, "Islam hanya cocok bagi rakyat tropis."
Tak hanya benua Eropa, bahkan negara-negara Timur Tengah hingga beberapa penduduk Indonesia juga terjebak dalam persepsi demikian. Terlebih kemunculan Hizbut Tahrir sebagai komunitas aktivis penjunjung khilafah yang banyak menuai kontra gara-gara penolakan mereka terhadap hukum negara demokrat.
Pembahasan pertama tadi mengenai persepsi khilafah telah menjadi masalah umum.
Bertahun-tahun, saya menerima kabar kalau ternyata banyak kalangan masyarakat yang selalu mengidentikkan Islam dengan Arab. Seseorang dikatakan sudah Islami jika telah menerapkan sejumlah simbol-simbol budaya dan tradisi Arabia.
Mendengar hal itu, saya selalu diam karena belum menemukan alasan yang benar, hingga akhirnya tersadar setelah membaca sebuah buku di perpustakaan, "Mana ada ayat atau hadis yang menyuruh kita untuk berbudaya seperti bangsa Arab?" Pertanyaan retorik itu terngiang-ngiang pada kepalaku.
Ditambahkan lagi, "Rasulullah SAW itu diutus Allah membawa nilai-nilai kemanusiaan untuk semua kalangan umat, seluruh negara, termasuk bangsa-bangsa yang berbeda-beda budaya. Maka Nabi tidak pernah memerintahkan umatnya untuk selalu mengikuti tradisi dan budaya Arab secara turun-menurun, melainkan perintah takwa-lah yang paling utama." Dalam Al-Qur`an disebutkan:
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti." [QS. Al-Hujurat: 13]
Dengan begitu, kita tidak perlu terlalu memaksa perubahan budaya dan tradisi demi meningkatkan jiwa Islami kita. Sebab, Allah tidak pernah menyuruh kita sedemikian. Hal ini tentunya harus diketahui oleh semua rakyat muslim, agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap Islam dan menular hingga wilayah Eropa sana.
Setelahnya, akan kujabarkan pembahasan kedua mengenai statement yang --agaknya-- masuk akal.
Apakah Islam hanya cocok untuk bagi rakyat tropis?
Pertanyaan ini mengarah pada ketentuan hukum Islam mengenai ibadah salat dan puasa yang sering kali tidak seimbang di setiap negara.
Tentunya kita tahu, waktu salat ditetapkan berdasarkan perputaran poros matahari terhadap bumi. Ketika terbit fajar shidiq, azan Subuh dikumandangkan, dan waktunya selesai saat matahari telah sempurna terbit. Zuhur dimulai ketika tergelincirnya matahari yang tepat di atas kepala kita, dan berakhir seusai bayangan benda sesuai dengan wujud aslinya.
Apakah hal itu masih berlaku bagi negara yang tidak pernah mengalami puncak matahari setiap hari seperti Belanda, Jerman, Inggris, Polandia, dan Rusia?
Tentu tidak.
Belum lagi dengan waktu sahur dan berbuka, kita selalu berpatok dengan matahari terbit untuk memulai puasa, dan berbuka di saat matahari telah tenggelam. Bagaimana dengan negara-negara yang jangka waktu terbitnya lebih dari 20 jam seperti Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Denmark? Ini pasti sungguh memberatkan kita.
Padahal, kita sudah diajarkan sejak kecil bahwasannya Islam itu tidak memberatkan umat, Islam rahmatan lil alamin. Selain itu, Islam juga mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan secara universal, tanpa ada pengecualinya. Islam itu elastis, dinamis, bisa diterapkan dengan tradisi-tradisi lain sebagaimana Wali Sanga yang memadukan Islam dengan adat Jawa melalui perwayangan dan hal lainnya.
Meski agama ini universal, Allah tetap memilih Nabi Muhammad untuk menitahkan agamanya di Arab. Hal itu bertujuan hanya untuk kita jadikan acuan dalam keteladanan lokal. Dengan begitu, nilai-nilai universal Islam tidak akan berkurang, bukannya terjebak pada Arabisme.
Begitu pula dalam meneladani hukum fikih seperti salat dan puasa, sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad sejak dulu. Waktu pelaksanaan salat tidak akan berubah jika kita aplikasikan sesuai waktu perputaran bumi, bukan dengan gerak semu matahari. Sebab pergantian siang dan malam sendiri besifat relatif. Dalam Al-Qur`an dijelaskan:
"Tidakkah engkau memperhatikan, bahwa Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar sampai kepada waktu yang ditentukan. Sungguh, Allah Mahateliti atas apa yang kamu kerjakan." [QS. Luqman: 29]
Maksud dari 'memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam' adalah substansi dari relativitas pergantian siang dan malam. Gambarannya adalah ketika pergantian siang dan malam yang tidak sesuai dengan pergantian jam secara umum. Bisa jadi di negara kita sedang tengah malam, di negara Eropa justru masih siang benderang, begitu pun sebaliknya.
Dengan demikian, hukum pelaksanaan salat dan puasa tidak selalu berpatok pada perpindahan matahari. Salat dan puasa ditentukan oleh waktu.
Pergantian siang dan malam itu nisbi, sedangkan waktu itu terus berganti. Seandainya kita tinggal di Venus dan mengeklaim bahwa sehari di sana setara dengan 243 hari di bumi, waktu tetap berjalan. Kita tetap wajib melaksanakan salat dalam waktu yang sudah ditentukan sejak Nabi diperintahkan salat.
Beberapa alternatif bisa dilakukan ketika berada di negara sub tropis atau negara yang mendekati kutub (di luar Indonesia):
1. Mengikuti hukum fikih secara hakikat, berarti ibadah kita menyesuaikan pergantian siang dan malam. Namun kelemahannya, hal ini malah memberatkan kaum Islam mualaf wilayah Eropa dan berdampak buruk pada kita yang memerintahkan mereka mengikuti hukum yang seperti ini.
2. Mengiktui hukum fikih secara majas, berarti ibadah kita menyesuaikan pergantian jam pada negara-negara tropis seperti Indonesia ataupun Arab. Hal ini banyak kelebihannya, terutama bagi seseorang yang bingung untuk menentukan waktu di negara-negara yang kehilangan masa malamnya. Atau lebih parahnya lagi, berada di luar angkasa.
Apalah arti dari waktu, jika kita tidak beribadah dengan khusyu menghadap Allah SWT. Sebagaimana puisi Sapardi yang berjudul "Yang Fana adalah Waktu", beliau menyiratkan pesan bahwasannya waktu itu sangat penting bagi manusia. Oleh karena itu, sebagai makhluk sempurna kita harus memanfaatkan waktu dengan baik.
Dan sebagai penganut ajaran Islam, kita juga tidak boleh memaksa seseorang untuk melakukan hal yang memberatkan.
Bukankah Allah sudah memberi kita nikmat yang sangat banyak, dan berapa banyak pula nikmat yang kita dustakan? (Ar-Rahman/13)