Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Lainnya

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Duel Pasar Digital-Tradisional Jelang Lebaran di Palu

26 Maret 2025   18:15 Diperbarui: 27 Maret 2025   17:07 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Duel Pasar Digital-Tradisional Jelang Lebaran di Palu
Suasana pagi di salah satu sudut pasar tradisional, Rabu (26/3) (dokumentasi pribadi)

Udara pagi di Kota Palu masih menggantung lembap ketika Ibu Nila, 45 tahun, membuka lapak kain sarungnya di Pasar Palu Plaza. Tangannya gesit menata baju koko dan selendang sutra, sementara matanya sesekali menatap gedung-gedung modern di seberang jalan yang mulai menutupi cahaya pagi. 

"Lima tahun lalu, orang antre sejak subuh hanya untuk beli baju Lebaran di sini," ujarnya, suara parau bercampur nostalgia. Kini, meski keramaian masih ada, riuh tawar-menawar tak lagi menggema seperti dulu. 

Di sudut lain kota, Akbar, 23 tahun, sibuk memotret batik bomba khas Palu untuk diunggah ke Instagram. "Ini orderan dari Ternate, harus sampai sebelum Lebaran," katanya sambil membungkus produk dengan bubble wrap, tanda bahwa perputaran ekonomi tak lagi hanya terjadi di pasar fisik.  

Kota Palu, ibukota Sulawesi Tengah, sedang mengalami metamorfosis perdagangan jelang Lebaran. Pertarungan antara pasar tradisional dan platform digital bukan sekadar soal pilihan konsumen, melainkan pertarungan eksistensi. 

Pasar offline masih menjadi jantung ekonomi bagi warga tua yang memegang teguh tradisi ngelayar---berkeliling pasar untuk memastikan kualitas barang dengan mata dan tangan sendiri. 

Namun, gempuran harga murah dan kemudahan belanja online memaksa pedagang seperti Ibu Fitri, penjual mukena di Pasar Masomba, mengakui kenyataan pahit: 

"Omzet turun hampir 40% sejak orang beralih ke kurma impor online. Katanya lebih murah, tapi kadang sampai sudah berjamur," keluhnya sambil menunjuk tumpukan kurma lokal yang mulai sepi peminat.  


Di tengah ketegangan ini, teknologi justru menjadi pisau bermata dua. Di Kelurahan Pengawu, Riska, 28 tahun, membuka laptop sembari menyuapi anaknya yang rewel. Jarinya menari di atas trackpad, membandingkan harga mukena di tiga e-commerce sekaligus. 

"Tahun lalu, mukena sama motif di pasar lebih mahal Rp50 ribu," ujarnya. 

Bagi perempuan pekerja ini, belanja online adalah solusi waktu yang terampas rutinitas kantor. Namun, di balik kepraktisan itu, ada ironi yang menganga: uang yang seharusnya berputar di Palu justru mengalir ke gudang-gudang besar di Pulau Jawa.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Content Competition Selengkapnya

31 Mar 2025
SEDANG BERLANGSUNG

Lebaran Minimalis

blog competition  ramadan bercerita 2025  ramadan bercerita 2025 hari 29 
01 Apr 2025

Suasana Hati Usai Minta Maaf dan Memaafkan

blog competition ramadan bercerita 2025 ramadan bercerita 2025 hari 30
Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Nunggu Bedug Makin Seru di Bukber Kompasianer

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.

Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun