Duel Pasar Digital-Tradisional Jelang Lebaran di Palu
Bagi warga berbudget pas-pasan, ini adalah solusi cerdas: tampil gaya tanpa menguras dompet.
Menjelang H-7 Lebaran, Pasar Lentora di Jalan Kunduri menjadi saksi bisu dinamika serupa. Pasar musiman ini ramai oleh warga yang memborong kebutuhan hari raya.
Arus lalu lintas macet, parkir liar memenuhi badan jalan, dan keriuhan pembeli membaur dengan teriakan penjual menawarkan harga "murah meriah". Namun, di balik kemeriahan itu, ada kegelisahan tersembunyi.
"Dulu, pasar seperti ini jadi tempat silaturahmi. Sekarang, orang datang, beli, lalu pulbur," ujar Pak Hasan, pedagang kurma yang masih setia menunggui lapaknya.
Semangat Lebaran seolah menjadi benang merah yang menyatukan dua dunia. Di Pasar Palu Plaza, Ibu Nila tetap setia melayani pelanggan lama yang datang sambil bercerita tentang cucu. Di sudut kota, Akbar sibuk membalas pesan pembeli yang meminta diskon.
"Yang penting rezeki tetap jalan, online atau offline sama saja," ucap Ibu Siti, penjual mukena, sambil melipat barang pesanan. Tapi di matanya, ada rindu akan masa ketika pasar tak hanya tempat transaksi, melainkan ruang berbagi cerita dan tawa.
Perubahan memang tak terelakkan. Pasar tradisional tetap hidup, tetapi denyutnya melemah. Platform online tumbuh subur, tetapi kerap menggerus rasa kebersamaan.
Di tengah semua ini, orang Palu berusaha menemukan keseimbangan. Seperti kata Rian, "Kami bukan musuh, tapi saudara yang harus saling dukung."
Mungkin di situlah esensi Lebaran sesungguhnya: bukan sekadar tentang pakaian baru atau kurma termurah, melainkan bagaimana uang, teknologi, dan tradisi bisa berjalan beriringan---menjaga denyut kota tetap berdetak, meski tak lagi sama.
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.
Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025