Duel Pasar Digital-Tradisional Jelang Lebaran di Palu
Udara pagi di Kota Palu masih menggantung lembap ketika Ibu Nila, 45 tahun, membuka lapak kain sarungnya di Pasar Palu Plaza. Tangannya gesit menata baju koko dan selendang sutra, sementara matanya sesekali menatap gedung-gedung modern di seberang jalan yang mulai menutupi cahaya pagi.
"Lima tahun lalu, orang antre sejak subuh hanya untuk beli baju Lebaran di sini," ujarnya, suara parau bercampur nostalgia. Kini, meski keramaian masih ada, riuh tawar-menawar tak lagi menggema seperti dulu.
Di sudut lain kota, Akbar, 23 tahun, sibuk memotret batik bomba khas Palu untuk diunggah ke Instagram. "Ini orderan dari Ternate, harus sampai sebelum Lebaran," katanya sambil membungkus produk dengan bubble wrap, tanda bahwa perputaran ekonomi tak lagi hanya terjadi di pasar fisik.
Kota Palu, ibukota Sulawesi Tengah, sedang mengalami metamorfosis perdagangan jelang Lebaran. Pertarungan antara pasar tradisional dan platform digital bukan sekadar soal pilihan konsumen, melainkan pertarungan eksistensi.
Pasar offline masih menjadi jantung ekonomi bagi warga tua yang memegang teguh tradisi ngelayar---berkeliling pasar untuk memastikan kualitas barang dengan mata dan tangan sendiri.
Namun, gempuran harga murah dan kemudahan belanja online memaksa pedagang seperti Ibu Fitri, penjual mukena di Pasar Masomba, mengakui kenyataan pahit:
"Omzet turun hampir 40% sejak orang beralih ke kurma impor online. Katanya lebih murah, tapi kadang sampai sudah berjamur," keluhnya sambil menunjuk tumpukan kurma lokal yang mulai sepi peminat.
Di tengah ketegangan ini, teknologi justru menjadi pisau bermata dua. Di Kelurahan Pengawu, Riska, 28 tahun, membuka laptop sembari menyuapi anaknya yang rewel. Jarinya menari di atas trackpad, membandingkan harga mukena di tiga e-commerce sekaligus.
"Tahun lalu, mukena sama motif di pasar lebih mahal Rp50 ribu," ujarnya.
Bagi perempuan pekerja ini, belanja online adalah solusi waktu yang terampas rutinitas kantor. Namun, di balik kepraktisan itu, ada ironi yang menganga: uang yang seharusnya berputar di Palu justru mengalir ke gudang-gudang besar di Pulau Jawa.
Tak semua pedagang tradisional menyerah. Di Pasar Tua Bambaru, sekelompok ibu-ibu penjual kue Lebaran seperti Mama Lina justru memanfaatkan WhatsApp dan Facebook.
"Kami kirim foto kue ke grup RT. Alhamdulillah, pesanan malah melonjak," ujarnya bangga, menunjuk tumpukan nastar dan putri salju yang siap dikirim ke pelanggan. Kolaborasi antara tradisi dan teknologi ini menjadi senjata bertahan yang kian populer.
Di sisi lain, Rian dan komunitas reseller lokal berusaha menahan gempuran produk murah dari luar daerah dengan tagar #BeliPaluBuatPalu.
"Agar uang tetap berputar di sini," tegasnya.
Pemerintah Kota Palu pun tak tinggal diam. Dinas Perdagangan menggelar Pasar Murah Lebaran dengan harga terkontrol sembari mempromosikan UMKM lewat Instagram.
Namun, upaya ini justru mempercepat adaptasi digital. Seorang petugas dinas yang enggan disebut namanya mengaku: "Kami adakan pelatihan penggunaan GoFood dan Tokopedia untuk ibu-ibu pedagang."
Langkah ini ibarat menambal lubang dengan ember: pasar tradisional tetap hidup, tetapi transformasi digital tak terhindarkan.
Di antara dua kutub ini, muncul fenomena tak terduga: geliat thrifting. Di Pasar Bulili, Jalan Petobo, ratusan "emak-emak" memadati lapak pakaian bekas setiap Senin dan Jumat.
Harga baju preloved di sini terjangkau, mulai dari Rp5 ribu hingga Rp80 ribu. Devi, 21 tahun, mahasiswa sekaligus penjual online, memanfaatkan momen ini.
"Saya beli di sini, lalu jual kembali lewat Instagram dengan harga bersaing," ujarnya.
Bagi warga berbudget pas-pasan, ini adalah solusi cerdas: tampil gaya tanpa menguras dompet.
Menjelang H-7 Lebaran, Pasar Lentora di Jalan Kunduri menjadi saksi bisu dinamika serupa. Pasar musiman ini ramai oleh warga yang memborong kebutuhan hari raya.
Arus lalu lintas macet, parkir liar memenuhi badan jalan, dan keriuhan pembeli membaur dengan teriakan penjual menawarkan harga "murah meriah". Namun, di balik kemeriahan itu, ada kegelisahan tersembunyi.
"Dulu, pasar seperti ini jadi tempat silaturahmi. Sekarang, orang datang, beli, lalu pulbur," ujar Pak Hasan, pedagang kurma yang masih setia menunggui lapaknya.
Semangat Lebaran seolah menjadi benang merah yang menyatukan dua dunia. Di Pasar Palu Plaza, Ibu Nila tetap setia melayani pelanggan lama yang datang sambil bercerita tentang cucu. Di sudut kota, Akbar sibuk membalas pesan pembeli yang meminta diskon.
"Yang penting rezeki tetap jalan, online atau offline sama saja," ucap Ibu Siti, penjual mukena, sambil melipat barang pesanan. Tapi di matanya, ada rindu akan masa ketika pasar tak hanya tempat transaksi, melainkan ruang berbagi cerita dan tawa.
Perubahan memang tak terelakkan. Pasar tradisional tetap hidup, tetapi denyutnya melemah. Platform online tumbuh subur, tetapi kerap menggerus rasa kebersamaan.
Di tengah semua ini, orang Palu berusaha menemukan keseimbangan. Seperti kata Rian, "Kami bukan musuh, tapi saudara yang harus saling dukung."
Mungkin di situlah esensi Lebaran sesungguhnya: bukan sekadar tentang pakaian baru atau kurma termurah, melainkan bagaimana uang, teknologi, dan tradisi bisa berjalan beriringan---menjaga denyut kota tetap berdetak, meski tak lagi sama.
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.
Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025