Duel Pasar Digital-Tradisional Jelang Lebaran di Palu
Tak semua pedagang tradisional menyerah. Di Pasar Tua Bambaru, sekelompok ibu-ibu penjual kue Lebaran seperti Mama Lina justru memanfaatkan WhatsApp dan Facebook.
"Kami kirim foto kue ke grup RT. Alhamdulillah, pesanan malah melonjak," ujarnya bangga, menunjuk tumpukan nastar dan putri salju yang siap dikirim ke pelanggan. Kolaborasi antara tradisi dan teknologi ini menjadi senjata bertahan yang kian populer.
Di sisi lain, Rian dan komunitas reseller lokal berusaha menahan gempuran produk murah dari luar daerah dengan tagar #BeliPaluBuatPalu.
"Agar uang tetap berputar di sini," tegasnya.
Pemerintah Kota Palu pun tak tinggal diam. Dinas Perdagangan menggelar Pasar Murah Lebaran dengan harga terkontrol sembari mempromosikan UMKM lewat Instagram.
Namun, upaya ini justru mempercepat adaptasi digital. Seorang petugas dinas yang enggan disebut namanya mengaku: "Kami adakan pelatihan penggunaan GoFood dan Tokopedia untuk ibu-ibu pedagang."
Langkah ini ibarat menambal lubang dengan ember: pasar tradisional tetap hidup, tetapi transformasi digital tak terhindarkan.
Di antara dua kutub ini, muncul fenomena tak terduga: geliat thrifting. Di Pasar Bulili, Jalan Petobo, ratusan "emak-emak" memadati lapak pakaian bekas setiap Senin dan Jumat.
Harga baju preloved di sini terjangkau, mulai dari Rp5 ribu hingga Rp80 ribu. Devi, 21 tahun, mahasiswa sekaligus penjual online, memanfaatkan momen ini.
"Saya beli di sini, lalu jual kembali lewat Instagram dengan harga bersaing," ujarnya.
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.
Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025