rokhman
rokhman Freelancer

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

TRADISI Pilihan

Gegara Mengganggu, Pak Kiai Minta Bocah Kecil Baca Berzanji

16 April 2023   06:12 Diperbarui: 16 April 2023   06:17 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gegara Mengganggu, Pak Kiai Minta Bocah Kecil Baca Berzanji
ilustrasi. (kompas.com/miftahul huda)

Anak kecil memang begitu. Dunianya masih bercanda dan berpotensi mengganggu. Ini ceritaku ketika masih sangat kecil. Saat pak kiai "marah" pada ulah anak-anak kecil.

Dulu, tempat salat di kampungku sangat sederhana. Sebab surau itu ada di lantai dua. Lantai satu adalah rumah pak kiai.

Semua bangunan dari kayu, tak ada tembok. Tangga menuju lantai dua juga pakai kayu. Dinding juga kayu. Alas atau lantai di lantai dua juga dari kayu.

Bisa dibayangkan, surau di lantai dua dan beralaskan kayu. Jika anak-anak berlarian di surau, maka suara lantai kayunya akan sangat mengganggu.

Salah satu tradisi di surauku waktu itu, tiap malam Jumat baca berzanji. Berzanji adalah karya sastra berbahasa Arab yang mengisahkan kehidupan Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Setelah Isya, malam Jumat, maka para lelaki berkumpul di surau. Kemudian baca berzanji. Bacanya bergiliran. Misalnya si A baca halaman berapa sampai berapa. Si B baca halaman berapa sampai berapa.

Saat malam baca berzanji itu, warga kampung secara sukarela memberikan makanan dan minuman. Ibuku kadang juga buat makanan alias camilan untuk diberikan saat malam Jumat.

Selesai baca berzanji, maka makan-makan. Makanan camilan yang gratis dan enak. Makanan zaman dahulu tak ada yang tak enak.

Kala itu, aku masih TK, teman-teman sebayaku ya masih TK. Ada juga yang sudah kelas 2 atau 3 SD. Ada tiga fakta dari aku dan teman-temanku.

Fakta pertama, kami sering bercanda, guyon, tak bisa diatur. Fakta kedua, kami ikut berzanji karena memburu makanan. Fakta ketiga, tak ada dari kami yang sudah bisa baca berzanji. Baca Alquran saja belum bisa atau belum lancar karena masih kecil.

Anak yang kelas 2 atau 3 SD, sudah bisa baca alquran, tapi terbata-bata. Belum lancar. Baca Alquran belum lancar, apalagi baca berzanji.

Satu ketika pak Kiai yang sudah sangat sepuh "marah". Ya wajar menurutku karena anak-anak memang mengganggu selama pembacaan berzanji. Setelah baca berzanji usai, pak kiai bicara lantang.

Kira-kira bicaranya begini. "Pekan depan, anak kecil tetap boleh ikut berzanji, tapi harus ikut baca, dapat giliran," kata pak kiai.

Ultimatum itu sampai ke telinga ibuku. "Udah kamu ngga usah ikut berzanji. Jika ikut dan kamu tak bisa baca, bisa panjang urusannya," kata ibuku.

Akhirnya, aku memang tak ikut berzanji. Tapi beberapa temanku yang sangat berhasrat memburu makanan, tetap ikut berzanji di malam Jumat itu. Padahal, teman-teman sepermainanku itu juga belum bisa baca alquran, apalagi berzanji. Karena di tempatku, saat mengaji reguler, boleh baca berzanji jika baca Alquran sudah lancar.

Bisa dibayangkan, belum bisa baca berzanji lalu nekat ikut. Keesokan harinya, cerita malam Jumat keramat itu jadi buah bibir. Aku yang tak berangkat pun tahu situasinya.

Salah satu temanku yang masih kelas 1 SD, nekat ikut berzanji dan langsung dapat giliran baca berzanji. Bayangkan saja, anak kelas 1 SD ditodong disuruh baca berzanji. Semua peserta diam untuk mendengarkan suara anak kelas 1 SD.

Katanya, temanku itu keringatnya sejagung-jagung. Dia gemetaran dan melempar kitab berzanji, lalu dia lari tunggang langgang pulang ke rumah.

Satu lagi anak kelas 3 SD juga kena todong untuk baca berzanji. Tapi anak ini sudah bisa "nakal" sekalipun belum bisa baca berzanji. Dia tahu pak kiai sudah sepuh dan pendengarannya tak sejelas ketika masih muda.

Temanku yang kelas 3 SD ini baca dengan suara tak jelas. "Aku baca dengan nada tapi yang aku baca asal-asalan dengan suara yang tak jelas," katanya padaku. Dia pun selamat dari ranjau malam Jumat itu.

Keras

Begitulah cerita zaman dahulu. Kiai atau guru ngaji bisa sangat galak. Guru ngajiku memakai semacam pemukul kecil.

Kami maju satu per satu mengaji di hadapan guru. Jika ada yang salah, maka pemukul itu akan diketukkan ke meja. Pak guru tidak menjelaskan di mana letak kesalahannya.

Kami disuruh mencari sendiri kesalahannya. Nanti kami akan mengulangi bacaan. Bisa saja kembali salah karena kami salah mendeteksi titik kesalahan.

Ada murid yang salah berkali-kali, ketukan ke meja bisa sangat keras sekali. Kadang disertai dengan penekanan suara, "bukan begitu!". Kalau sudah ada ketukan keras dan suara lantang dari pak guru ngaji, sesurau sunyi senyap.

Kalau tak kuat mental, suara pentungan dan hentakan penekanan dari guru ngaji bisa membuat stres.

Tapi itu masa lalu. Apakah cara mengajar itu masih relevan di masa sekarang? Aku tak tahu. Tapi dari beberapa gambaran, jika anak sekarang dikerasi, maka orangtua bertindak. Zaman sudah berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun