Ramadan, Tidur di Surau, dan Pintu Musala yang Digembok
Ramadan selalu mengingatkanku di masa kecil di tahun 80-an. Di masa tak ada telepon genggam. Di masa ketika tidur di surau adalah ritual saat Ramadan.
Jadi ketika Ramadan, malamnya tidur di surau. Sebelum tidur di surau, pasti keliling main di malam hari. Ritual anak kecil di masa lalu.
Nanti kisaran pukul 02.00 WIB, bangun dan membawa tongkat kecil dan kentongan. Tentu saja untuk membangunkan orang sahur.
Sebenarnya di hati kecil, bukan untuk membangunkan orang sahur. Tapi karena anak kecil, hasratnya adalah memang ingin bergembira keliling kampung memakai suara pukulan di malam hari.
Zaman itu, wajar jika dini hari menyuarakan bunyi-bunyian di masa Ramadan. Sesuatu yang tak bakal boleh dilakukan di luar bulan Ramadan.
Nah, jika sudah keliling menyuarakan bunyi-bunyian, kami lalu sahur. Setelah itu ke surau lagi untuk salat Subuh.
Sekalipun kami tidur di surau di malam hari, tapi jika Subuh kok masih ada yang molor di surau, pasti kena marah pak kiai. Jadi boleh tidur di surau ketika memang saatnya tidur. Kalau waktu salat tapi malah tidur, tentu tak tepat.
Aktivitas di masa lalu yang sering hilir mudik ke surau membuatku akrab dengan surau. Ketika pergi merantau, tempat yang sering aku cari adalah surau.
Misalnya untuk salat, atau hanya sekadar buang air kecil, atau untuk tidur ketika terjebak di perjalanan ketika malam hari. Sebab, aku memang pernah diturunkan dari bus karena duit kurang saat malam jelang pukul 23.00 WIB. Maka aku pun mencari musala untuk numpang tidur.
Nah, di masa kini, memang ada yang terasa aneh ketika lihat fenomena. Aku pernah heran ketika kondangan di Bekasi melihat pintu musala digembok.
Padahal kala itu aku benar-benar sakit menahan mengeluarkan air kecil. Biasanya enak saja cari toilet di musala untuk buang air kecil.