Wisata Sejarah: Kota Tua Jakarta Nan Menggoda, Tunggu Aku Datang Lagi!
Ke Jakarta
Akhir Desember tahun lalu, saya berkesempatan ke Jakarta. Acara intinya adalah perjalanan dinas kantor mengikuti rapat koordinasi sekaligus berkegiatan dalam rangka HUT Dharma Wanita Persatuan KLHK.
Saya berangkat bersama Mbak Ida dan Bu Emmy, ketua DWP BPSI LHK Makassar. Bapak kepala balai juga sudah berangkat lebih dulu karena ada rangkaian rapat.
Selama dua hari ikut bos rapat dan setelah itu mendampingi bu bos acara DWP, seru dan padat betul acaranya. Berangkat pagi pulang sore, pokoknya padat dan tidak sempat kemana-mana kecuali malamnya cari makan.
Hari Sabtu kami sudah mengantongi tiket pulang ke Makassar, namun bu ketua masih harus menghadiri satu acara dengan ibu-ibu DWP BSI LHK, yaitu acara jalan-jalan ke Kota Tua. Kami pun berembug dan keputusannya kami pagi-pagi ke Kota Tua, hanya sampai pukul 10.00 saja. Setelah itu langsung cabut balik ke hotel untuk bersiap ke bandara, yang penting bu Emmy sudah izin tidak ikut full acara ibu-ibu.
Kami berangkat naik kendaraan online dan tiba di Kota Tua sekitar pukul 08.00, tentu saja suasana sangat sepi. Kontras dengan saat saya ke Kota Tua untuk yang pertama kali sekitar tahun 2019. Waktu itu menyempatkan diri juga, malam-malam setelah menyelesaikan pekerjaan kantor, bersama beberapa teman tim PUI (Pusat Unggulan Iptek). Waktu itu sangat ramai. Banyak penjual kuliner dan barang-barang lain seperti pasar malam. Ada juga live music. Lautan anak muda nongkrong di pelataran Museum Fatahillah.
Kalau Kota Tua sepi, lalu mau apa? Ya tak lain dan tak bukan tentu saja foto-foto. Kebetulan camera hp bu ketua canggih dan dapat menghasilkan gambar-gambar yang lebih indah dari aslinya, hahaha. Beliau juga ringan tangan mau mengambil gambar saya dan Mbak Ida.
Kami mencari spot-spot yang menunjukkan jejak sejarah Kota Tua dan berfoto di sana. Ada foto di depan museum Bank Indonesia, di depan museum wayang, di depan cafe Batavia, dan di depan gedung dan museum Fatahillah yang fenomenal. Museum Fatahillah ini dulunya adalah gedung balai kota Batavia.
Sejarah Museum Fatahillah
Bermula di tahun 1620, awal didirikannya balai kota Batavia. Sempat bertahan selama enam tahun, bangunan dibongkar untuk melawan serangan dari pasukan Sultan Agung tahun 1926. Setahun kemudian balai kota kembali dibangun atas perintah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Namun tahun 1928 kondisi bangunan memburuk karena ketidakseimbangan tanah.
Tahun 1707, atas perintah Gubernur Jenderal Joan van Hoorn, balai kota dibongkar dan dibangun ulang dan diresmikan pada 10 Juli 1710. Selama dua abad, bangunan ini dijadikan kantor administrasi Kota Batavia. Selain itu, bangunan ini digunakan sebagai College van Schepenen (Dewan Kotapraja) serta Raad van Justitie (Dewan Pengadilan).
Pada masa pendudukan Jepang yaitu tahun 1942, gedung ini digunakan sebagai kantor pengumpulan logistik Dai Nippon atau kekaisaran Jepang. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, bangunan ini digunakan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sampai tahun 1961, sempat digunakan sebagai Kantor Komando Militer Kota I dan kemudian digunakan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Tahun 1970, bekas bangunan balai kota Batavia ini ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya. Pada 30 Maret 1974, Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, merenovasi ulang gedung tersebut dan diresmikan sebagai Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah).
Sebenarnya apa yang ada di dalam museum tersebut? Karena dua kali ke Kota Tua saya tidak pernah masuk ke museum, maka saya mencari info tentang itu di sini. Kita bisa menemukan objek-objek seperti: Kronologi sejarah Jakarta; replika peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran; hasil penggalian arkeologi di Jakarta; mebel antik mulai dari abad 17 sampai 19; keramik, gerabah, dan batu prasasti.
Objek-objek ini dibagi menjadi beberapa ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang Batavia.
Ternyata isinya sangat banyak, padahal selain museum Fatahillah masih ada museum lainnya di area Kota Tua. Jadi saya menyimpulkan bahwa kalau mau eksplore Kota Tua, dalam arti melihat seluruh museum yang ada, mungkin waktu sehari tidak akan pernah cukup.
Saatnya Pamitan
Kami melanjutkan foto-foto karena beberapa orang yang mencari sesuap nasi di area wisata Kota Tua sudah berdatangan satu demi satu. Kami ketemu dengan seorang bapak-bapak manusia gold - yang mengecat seluruh tubuhnya dengan warna emas.
Beliau menawarkan berfoto dengan properti yang dibawanya. Senjata, dan tulisan-tulisan yang unik tentang jodoh. Tentu saja kalau mau foto bersamanya harus bayar, pastilah namanya juga si bapak itu kerja di situ. Kalau dipikir siapa sih yang mau tubuhnya dilumuri cat setiap hari? Tapi demi sesuap nasi, si bapak rela melakukannya.
Yah, hidup di Jakarta memang berat. Kita-kita para pelancong harus mengerti sendirilah mau ngasih berapa.
Kami juga bertemu dengan seorang bapak yang baru buka lapak spot foto dengan kendaraan tentara KNIL. Ada properti topi dan juga senjata. Jadilah kami bertiga foto-foto lagi.
Matahari makin meninggi, Kota Tua Jakarta masih menyimpan cerita, namun kami harus segera pergi. One day i'll be right back ... memasuki deretan museum di sana, dan menyerap energi old Batavia! Semoga ada umur dan kesempatan.
Soal staycationnya mau di mana, itu mudah. Selama masih ada jaringan Kompas Gramedia Group of Hotel Resort (Santika, Amaris, Kampi, The Anvaya, The Kanaya atau The Samaya), mau staycation di Jakarta pasti nyaman dan tenang serta antiribet.**
Berikut, foto-foto kami di Kota Tua ...