Menyikapi Pertanyaan dengan Nuansa Kekepoan, Jawaban Lucu Bolehkah?
Dulu saat saya masih kecil, gambaran tentang Indonesia adalah negara yang memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah dan penduduknya ramah-ramah. Setelah saya makin dewasa dan berinteraksi dengan banyak orang, saya baru menyadari bahwa sebetulnya penduduknya bukan ramah, tapi kepo. Kedua hal itu beda banget, tapi bagi orang yang pekok, pasti mengira bahwa keponya yang mengganggu itu adalah wujud keramahan dan perhatian.
Spoiler dulu, penulis juga penduduk Indonesia yang kadang baik disengaja maupun tidak, juga bersikap kepo yang tak perlu. Khilaf sesekali boleh lah.
Waktu saya tinggal di Jogja, saya mengontrak rumah di sebuah kampung. Dari kontrakan saya, misal mau ke kampus atau keluar kemana saja, harus melewati rumah tetangga. Biasanya tetangga selalu ada di teras rumah entah sedang ngapain. Dan tentu dengan segala keramahan hatinya, menyapa saya yang sedang lewat. Padahal lewatnya sudah sambil nunduk ambil jurus-jurus menghindar malas disapa orang.
"Mbak Indah, mau kemana?"
Dalam hati saya ingin menjawab, "Mau tau aja, apa mau tau banget?" Tapi tentu saja demi kemaslahatan umat, saya hanya tersenyum dan menjawab, "Ke kampus, Bu."
Kadang saya menjawab, "Ke sana, Bu." Kadang kalau lagi males pol dan nggak ingin si ibu tahu kalau saya cuma mau nongkrong di kafe baca jurnal, saya menjawab: "Iyaa, Bu."
Nggak nyambung, kan? Ditanya mau kemana malah jawabannya 'iya'. Tapi saya cuek saja, saat sudah jenuh ditanya mau kemana.
Apa harus saya jawab ala-ala Ayu Tingting? Kemanaaaa...di manaaa...kemanaaaa
Kalau dibalikin ke saya, emang saya nggak pernah nanya seperti itu sama seseibu atau sesetetangga? Yaa ... pernah juga, sih. Tapi saya pasti maklum kalau cuma dijawab 'iya' atau jawaban nggak nyambung lainnya. Namanya juga basa-basi, bisa dong dijawab dengan jawaban yang sama basinya.
Sebenarnya saya menyadari, pertanyaan atau sapaan 'mau kemana' itu terlalu privasi. Ngapain juga elo mau tau guwe mau kemana? Terserah guwe mau kemana.