Melintasi Ramadhan Bersama Luka dan Kesendirian
Tujuh tahun telah berlalu sejak terakhir kali Yono menantikan kehadiran bulan Ramadhan. Saat bulan suci itu tiba, Yono memilih untuk tidak makan dan minum, seolah ia menjalani puasa hanya untuk menghindari celaan orang lain. Setiap detik terasa berat baginya, dan setiap jeda waktu terasa seperti siksaan yang tak berkesudahan. Namun, yang lebih menghantui daripada rasa lapar dan haus adalah perasaan terluka dan terpinggirkan di tengah gebyar perayaan bulan suci tersebut.
Seiring berjalannya waktu, Yono menyadari bahwa kehampaan yang dirasakannya tidak hanya berasal dari kekosongan perutnya, tetapi dari kekosongan dalam hatinya. Meskipun dikelilingi oleh keramaian Ramadhan, Yono merasa terasing dan sendirian dalam pergulatan batinnya. Cahaya suci bulan Ramadhan yang seharusnya memberikan kedamaian dan kebahagiaan justru menjadi sumber kesedihan dan penderitaan baginya.
Setiap hari berlalu tanpa kehadiran makanan dan minuman, namun rasa lapar dan haus itu tak seberapa dibandingkan dengan luka yang menganga di dalam hati Yono. Terpisahnya dirinya dari kebahagiaan keluarga semakin memperdalam jurang kesedihan yang ada. Yono merasa seperti terjebak dalam pusaran kesendirian yang tak berujung, di mana ia berjuang untuk bertahan dalam gelombang emosi yang menghantamnya.
Kini, Yono menjalani Ramadhan yang penuh dengan duka, sambil membawa beban trauma tujuh tahun yang telah menemaninya. Konflik yang terjadi pada Ramadhan tujuh tahun lalu dan Lebaran yang menjadi puncak lukanya masih menghantui setiap langkahnya. Meskipun demikian, Yono tetap bertahan, mencoba untuk menyembuhkan luka yang telah lama menganga di hatinya dan mencari kedamaian yang selalu ia impikan.