Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Beberapa Pertanyaan Seputar Zakat Profesi

1 Juni 2019   05:12 Diperbarui: 1 Juni 2019   05:38 1913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa Pertanyaan Seputar Zakat Profesi
dok. zakat.or.id

Pada akhir Ramadan, lazimnya banyak ummat Islam yang menunaikan zakat fitrah, karena batas waktu pembayarannya hanya sampai pagi hari sebelum salat Idul Fitri. 

Zakat fitrah bersifat wajib atas semua jiwa bagi yang mampu. Maksudnya bila di sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan 3 orang anak yang masih di bawah tanggung jawab orang tua, maka kepala keluarga harus membayar zakat fitrah untuk 5 orang, yang masing-masing jiwa dihitung kewajibannya sebanyak 3,5 liter beras sebagai makanan pokok di negara kita.

Hanya saja sekarang untuk praktisnya, banyak yang membayar zakat fitrah berupa uang senilai 3,5 liter beras kepada panitia zakat atau langsung kepada tetangganya yang mengalami kesulitan secara ekonomi.

Namun tulisan saya kali ini terfokus pada zakat harta atau disebut juga zakat mal, khususnya bagi para pegawai atau para profesional yang menerima gaji dan bonus sebagai sumber penghasilan rutin utama.

Masalahnya, yang jelas-jelas diatur antara lain adalah zakat pertanian, peternakan, perdagangan, dan zakat atas simpanan emas. Tapi untuk zakat profesi, masih ada beberapa perbedaan pendapat. 

Dari beberapa referensi di media daring, hampir semuanya menyatakan bahwa zakat atas profesi dihitung sebesar 2,5% dari gaji dan bonus yang diterima, dengan asumsi total yang diterima di atas standar minimal atau nisab.

Pendapat di atas tampaknya diterima oleh banyak kalangan, sehingga tak heran sekarang ini banyak instansi, baik pemerintah maupun swasta yang langsung memotong zakat atas gaji yang dibayarkan pada para pegawainya yang beragama Islam, untuk diteruskan ke lembaga amil zakat yang disepakati bersama.

Kalaupun di kantor zakatnya belum dipotong, atau dipotong tidak secara penuh sebesar 2,5% dari gaji, maka si pegawai biasanya sudah punya gambaran ke mana zakatnya akan disalurkan, seperti ke tetangga atau kaum kerabatnya yang hidup dalam kekurangan.

Jika atas semua pendapatan tersebut telah dibayarkan zakatnya, ada pendapat yang mengatakan sudah tidak ada lagi kewajiban zakat harta, kecuali bila ada sumber pendapatan lain di luar gaji dan bonus. Kalaupun mau memberi bantuan kepada seseorang atau ke lembaga tertentu, namanya menjadi sedekah.

Nah, masalahnya, jika dari gaji dan bonus yang telah dipotong zakat itu tadi, sebagian ditabungkan di bank syariah, muncul perbedaan pendapat, apakah atas tabungan tersebut bila telah berakumulasi selama satu tahun dan juga telah melampaui nisab, harus terkena kewajiban zakat lagi atau tidak?

Ada yang berpendapat setiap tahun dari saldo tabungan yang ada dikenakan zakat 2,5%. Tapi ada pula yang berpendapat untuk tabungan yang di tahun pertama sudah dizakati, di tahun berikutnya tidak dizakati lagi, cukup dibayarkan 2,5% dari tabungan yang betul-betul penambahannya terjadi di tahun kedua.

Apalagi bila bertahun-tahun setelah itu, akumulasi tabungan yang nota bene berasal dari gaji setiap bulan yang telah dipotong zakat, mampu untuk membeli harta lain, katakanlah rumah, kendaraan, dan emas, maka timbul lagi pertanyaan berikutnya. 

Ada yang berpendapat sebelum membeli rumah, keluarkan dulu zakatnya 2,5%. Ada pula yang berpendapat, jika rumah tersebut untuk dipakai sendiri tidak kena zakat, tapi bila disewakan, akan terkena zakat (inipun ada beda pendapat lagi, ada yang dikenakan dari harga rumahnya, ada pula yang dari peneriman sewanya).

Semakin ruwet lagi bila sebagian tabungan dibelikan saham atau obligasi di pasar modal, tentu saham atau obligasi dari perusahaan yang berkategori syariah. Apakah kalau kita memegang saham sudah lebih dari satu tahun, harus dibayarkan zakatnya? Dari mana dihitung zakatnya, dari harga beli semula, atau harga pasar saat zakat dihitung? Atau cukup dibayarkan ketika saham tersebut dijual, yang dibayarkan sebesar 2,5% dari hasil penjualan?

Jelaslah bahwa semakin beragamnya instrumen investasi, semakin dituntut pula pedoman pelaksanan zakatnya dari para ahli agama. Tapi agar para ahli agama tidak salah dalam mengambil kesimpulan, tentu harus memahami dulu seluk beluk produknya dari para pelaku pasar.

Bisa jadi jawaban terhadap pertanyaaan di atas sudah jelas, cuma karena keterbatasan pengetahuan saya saja sehingga tetap menjadi pertanyaan di benak saya. Tapi saya sungguh ingin mendapat tanggapan dari pembaca tulisan ini. Sebelumnya tak lupa saya sampaikan terima kasih.

Sebagai informasi tambahan, jika semua harta dikenakan zakat setiap tahun sebesar 2,5%, tentu terbayang betapa besar potensinya untuk menurunkan angka kemiskinan di negara kita. 

Soalnya dari daftar kekayaan yang dilaporkan para pejabat negara, termasuk caleg pada pemilu serentak yang lalu, jumlah kekayaan sekitar belasan miliar rupiah per pejabat atau calon pejabat, adalah jumlah yang biasa. Adapun bila para caleg berasal dari kalangan konglomerat, hartanya bisa di atas Rp 100 miliar. Jelas potensi penghimpunan dananya tak kalah dari pembayaran pajak penghasilan.

Hanya saja pengawasan atas pembayaran pajak sudah semakin ketat, sehingga kepatuhan para pejabat membayar dan melaporkan pajaknya juga meningkat. Bahkan sering hal ini dilakukan di hadapan wartawan dan tersiar di media massa.

Mudah-mudahan nanti kepatuhan pejabat dan pengusaha dalam membayar zakat bisa sepatuh seperti saat membayar pajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun