Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.
Puasa Sekadar Mengubah Jadwal Makan Minum
Puasa kita rasanya sekadar mengubah jadual makan minum dan saat istirahat,
tanpa menggeser acara buat syahwat,
ketika datang rasa lapar atau haus.
Berlatih untuk Lebih Peduli
Itu petikan sajak Selamat Tahun Baru Kawan, karya KH. Ahmad Mustofa Bisri, yang dikenal publik sebagai Gus Mus. Pemuka agama ini merupakan alumnus dan penerima beasiswa dari Universitas Al Azhar Cairo, Mesir, di rentang tahun 1964-1970. Ia memilih studi Islam dan bahasa Arab.
Bagi saya, narasi sajak dalam petikan di atas, sangat lugas. Sajak itu benar-benar menggedor nurani, mempertanyakan hal yang substansi dari puasa Ramadan yang kini tengah dijalani umat Islam di seluruh dunia. Barangkali, mungkin banyak di antara mereka yang berpuasa, yang hanya sekadar mengubah jadual makan minum dan saat istirahat.
Padahal, menurut hemat saya, berpuasa adalah mengendalikan diri. Seluruh diri luar-dalam. Bukan hanya mengendalikan diri secara fisik, tapi sekaligus mengendalikan diri secara batin. Dengan demikian, berpuasa sesungguhnya menegaskan kembali bahwa manusia adalah hamba ciptaan-Nya.
Ketika berpuasa, mereka yang berkelebihan, bisa merasakan, betapa lemahnya diri ini tanpa makan dan minum. Hal yang mungkin tak pernah mereka rasakan, di luar bulan Ramadan. Dalam realitasnya, sangat banyak orang, yang tak cukup makan serta tak cukup minum dalam kehidupan keseharian.
Dengan demikian, Ramadan adalah momentum bagi mereka yang berkelebihan, untuk melatih diri serta mengasah nurani, agar menjadi sosok manusia yang lebih peduli kepada sesama. Mudah tersentuh pada kesulitan orang lain, ringan tangan pula untuk berbagi.
Dalam konteks petikan sajak Selamat Tahun Baru Kawan, karya Gus Mus di atas, kita bisa bertanya kepada diri sendiri: sudah seberapa peduli kita pada orang lain? Pada Kamis, 21 Juli 2022 lalu, ada kabar yang mengembirakan. Kabar itu diungkapkan Putu Yani Pratiwi, Research and Management Lecturer, Universitas Multimedia Nusantara (UMN).
Ia dengan lembaga UMN Consulting, melakukan penelitian terhadap remaja berusia 15-24 tahun dari seluruh Indonesia. Salah satu temuannya, gen Z justru merupakan generasi yang paling banyak memiliki karakter benevolence.
Maksudnya? "Suka menolong sesama dan jujur, serta memaafkan sesama. Tidak etnosentris dan peduli dengan orang lain," ujar Putu Yani Pratiwi pada webinar Adopsi Gaya Hidup Zero Waste pada Gen Z yang digelar, pada Kamis tersebut. Kita tahu, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan Sensus Penduduk 2020, jumlah Generasi Z di Indonesia, mencapai 75,49 juta jiwa.