Masjid Baiturrahman, Saksi Bisu Nostalgia Masa Kecilku di Bulan Ramadhan
Setiap bocah Muslim pasti memiliki nostalgia masa kecilnya sendiri-sendiri di bulan Ramadhan. Mungkin ada kisah sedih, ceria, motivasi, perjuangan, horor, lucu, unik, seru, juga suka duka di dalamnya. Kenangannya dijamin terbawa sampai tuwek. Bahkan, bisa jadi bahan obrolan asyik bersama anak cucu di kemudian hari.
Aku pun memiliki banyak nostalgia masa kecil di bulan Ramadhan. Mulai dari kebiasaan mengirim makanan ke tetangga dan saudara dekat rumah beberapa hari menjelang Ramadhan tiba. Kearifan lokal Jawa Timuran ini dikenal dengan istilah "megengan".
Nostalgia masa kecilku lainnya di bulan Ramadhan adalah latihan puasa saat kelas dua SD. Zaman segitu sih dibilangnya masih anak kecil, ya! Padahal sekarang anak TK saja sudah mulai belajar puasa. Bahkan, ada yang sampai tamat seperti puasanya orang dewasa. Baca juga nostalgia Ramadhanku
Sebagai arek cilik tentu saja aku punya rasa penasaran. Penasaran gimana rasanya mokel (sengaja batal puasa) dengan mengunyah dan menyeruput es batu secara sembunyi-sembunyi. Es batunya ditaruh di termos, karena keluargaku tidak punya kulkas. Meskipun deg-degan karena takut ketahuan, ternyata aku berani juga mokel. Pelajaran pertama, hal ini jangan ditiru.
Satu lagi nostalgia masa kecilku di bulan Ramadhan, yaitu salat tarawih di Masjid Baiturrahman. Masjid yang terletak di Desa Klakah Kabupaten Lumajang Jawa Timur ini, sampai sekarang masih terus direnovasi. Dari masjid yang seadanya sampai jadi masjid yang megah seperti saat ini. Tentu saja aku bangga pernah menjadi salah satu jemaah di sana.
Salat tarawih adalah hiburan bagiku dan kawan-kawan. Karena, saat itu di tahun delapan puluhan tidak ada kebiasaan ngabuburit seperti di Jawa Barat. Tidak juga ada pasar kaget di pinggir jalan yang menjajakan aneka panganan untuk berbuka puasa. Jalanan justru ramai di pagi hari. Banyak orang berjalan kaki mirip olahraga jalan santai. Termasuk aku dan beberapa teman. Padahal buka puasa masih lama. Alamat deh setelah jalan kaki badan jadi lemas.
Makanan untuk berbuka sudah tersedia di rumah. Tentu saja ibuku adalah koki terhebat di dunia, karena memasak dengan bumbu cinta. Meskipun makanannya sederhana, tetapi rasanya luar biasa. Kenangannya tak terbeli sepanjang masa.
Salat tarawih di Masjid Baiturrahman jumlahnya 23 rakaat. Kebayang dong maraton sampai gobyos keringetan seperti habis nge-gym. Tapi ya nggak merasa kapok. Seneng aja bisa ramai-ramai tarawih di masjid. Besoknya tarawih lagi dan lagi.
Apalagi bareng sama teman-teman ngerjain tugas merangkum khutbah. Sering terjadi kejar-kejaran antara tulisan dan kata-kata yang diucapkan khatib (pemberi ceramah). Saat itu tidak lazim memakai alat perekam. Semua serba dikerjakan secara manual. Hingga berburu tanda tangan imam salat dan khatib. Seru deh! Sehari saja nggak tarawih di Masjid Baiturrahman, serasa ada yang hilang.
Aku sungguh terkesan dengan bacaan salat Mbah Imam. Aku memanggilnya begitu, karena beliaulah yang bertugas sebagai iman salat wajib 5 waktu. Usianya sudah tua, wajahnya bersih bercahaya, murah senyum, dan adem dilihatnya.
Aku kagum dengan Mbah Imam yang bacaan salatnya bagus. Surat Al-Faatihah dibaca begitu menyentuh hati. Meskipun aku kecil belum belajar metode iqra', tetapi aku hafal surat Al-Faatihah dari mendengar bacaan Mbah Imam ini. Bahkan, sampai puluhan tahun berikutnya, langgam bacaan Al-Faatihahku terinspirasi bacaan beliau.
Meskipun sejak kuliah sampai tahap kehidupan berikutnya aku tidak tinggal lagi di Klakah, Masjid Baiturrahman akan selamanya menjadi saksi bisu nostalgia masa kecilku di bulan Ramadhan. Saksi bisu betapa aku mengagumi teladan Mbah Imam. Semoga setiap Al-Faatihah yang kubaca bisa mengalirkan amal jariyah bagi beliau. Aamiin.