Tayangan "Iklan Marjan", Sarana Apresiasi dalam Filsafat dan Tradisi di Bulan Ramadan
Memahami pemikiran dari kedua filsuf mengenai nilai estetika memberikan perdebatan tiada penyelesaian. Memang, perdebatan ini bisa diambil dari beberapa perspektif, baik itu ceritanya, gaya penokohan, latar cerita, maupun pemilihan efek warna dalam iklan tersebut. Namun, keindahan yang dimaksud dari kedua tokoh filsuf tersebut adalah adanya korelasi antara pesan dengan pengalaman masyarakat.
Entah bagaimana, adanya persamaan dalam cerita iklan Marjan di bulan Ramadan begitu dengan pengalaman masing-masing individu penonton. Sehingga para penonton juga bisa merasakan pengalaman dari cerita yang diangkat secara tidak langsung. Apalagi, di bulan Ramadhan ini begitu banyak iklan yang menggunakan unsur-unsur kebaikan di Bulan Ramadan, tetapi tidak ada yang sedekat Iklan Marjan.
David Hume, seorang filsuf aliran empirisme asal Inggris yang mengeluarkan buku "Of The Standard of Taste," menjelaskan bahwa keindahan suatu objek dipengaruhi oleh selera masing-masing. Hume menyimpulkan bahwa keindahan hanya ada dalam diri subjek dan bukan sifat objektif karya seni itu. Bahkan, selera dapat terbentuk melalui dua tahap, yaitu tahap persepsi dan afeksi (Suryajaya, 2015).
Bermula dari fase persepsi, dimana manusia menyerap semua kualitas pada sebuah karya seni. Selanjutnya, melalui tahap afeksi, manusia merasakan keindahan atau keburukan karya tersebut. Pada fase ini, manusia dapat mengapresiasi dan mengkritisi sebuah karya seni dari segala aspek yang terlihat.
Adanya sebuah apresiasi dan kritik berasal dari keresahan dan gangguan dari sebuah karya seni. Dalam konteks iklan Marjan, masyarakat dapat menikmati iklan Marjan di media televisi dan media sosial dengan kualitas gambar dan alur cerita yang menarik. Bahkan, dengan kualitasnya segitu, iklan ini mampu memberikan representasi pesan yang berbeda-beda kepada para penonton.
Sebuah penafsiran pesan merupakan hasil dari kejujuran para penikmat dalam mengamati sebuah karya seni. Di dalam iklan Marjan, masing-masing masyarakat memiliki pesan yang terbentuk dari hasil imajinasinya, baik dari perspektif Ramadhan maupun keluarga.
Saya pun berkesempatan mewawancarai beberapa orang yang sering menonton iklan Marjan di televisi. Tentunya, masing-masing narasumber memiliki jawaban yang berbeda-beda. Hafizh Adit merupakan seorang mahasiswa yang dalam kesehariannya selalu mengamati iklan Marjan di Bulan Ramadhan.
"iklan Marjan di bulan Ramadhan mengingatkan bahwa pentingnya memiliki keluarga. Selain itu, iklan ini meninggalkan sebuah ciri khas bahwa sudah menandakan bulan Ramadhan," Ucap Adit.
Pemikiran Hume soal tahap afeksi itu benar adanya. Terjadi perbedaan penafsiran pesan atas sebuah karya seni. Disini masing-masing narasumber mencoba menafsirkan sebuah pesan dari iklan Marjan dengan perspektifnya masing-masing. Karena para penonton dapat merasakan keindahannya secara langsung.
Iklan Marjan mulai diikuti oleh merek lainnya dalam mempromosikan produknya di masa lebaran. Bisa dikatakan, Marjan mempelopori sebuah promosi produk yang dikemas dengan cerita yang unik.
Menurut saya, iklan Marjan memberikan perspektif baru soal mempromosikan produk dengan bertemakan Ramadan. Marjan mengizinkan setiap penontonnya untuk berimajinasi atas pesan dari iklan mereka sehingga masing-masing dapat merepresentasikan hal berbeda. Bagi saya, iklan Marjan mencoba menceritakan soal kejujuran dan berbagi kepada sesama pada setiap saat, tidak hanya Ramadan.