Tayangan "Iklan Marjan", Sarana Apresiasi dalam Filsafat dan Tradisi di Bulan Ramadan
Kekaguman para penonton begitu membekas ketika menyaksikan iklan Marjan di bulan Ramadan. Iklan ini memberikan perspektif Ramadaan dari sebuah tradisi yang dikemas dengan konsep modern. Dari tahun ke tahun, iklan Marjan tidak pernah mengecewakan penonton karena selalu memberikan sebuah alur yang menarik, mudah dipahami, lugas, dan memiliki makna yang jelas.
Identitas Marjan sebagai produk minuman sirup telah dikenal dengan daya tarik iklannya, yang selalu saja menyisakan tempat untuk memahami nilai-nilai kebaikan di bulan Ramadan. Lambat laun, beberapa masyarakat menyadari bahwa iklan Marjan menjadi tradisi untuk mengawali bulan Ramadan, bahkan penayangan iklan Marjan dijadikan sebagai pengingat bahwa telah memasuki bulan Ramadan.
Kalau membahas soal iklan Marjan, memang tidak ada habisnya. Karena memiliki alur cerita jenaka dan selalu saja memberikan inovasi baru, tidak lupa menyajikan cerita yang padat dan jelas. Inilah alasannya mengapa iklan Marjan selalu dinanti-nantikan oleh masyarakat. Tidak semua merek bisa menyajikan iklan dengan pesan yang begitu membekas kepada masyarakat.
Berdasarkan dari respon masyarakat atas penayangan iklan Marjan selama bulan Ramadan, Marjan berhasil mempromosikan produknya serta menjual cerita dari produknya kepada masyarakat. Karena produk yang baik adalah sebuah produk yang dapat memenuhi kebutuhan dan memberikan nilai tersendiri bagi para konsumen.
Mungkin begitu banyak yang mempertanyakan, "Mengapa iklan Marjan begitu digemari oleh masyarakat?" atau "Kenapa bisa mendapatkan respon yang begitu positif?". Memang, kalau dilihat dari perspektif lain, iklan Marjan hanya memiliki durasi yang singkat. Lantas, apa sih yang menjadikan iklan Marjan begitu digemari oleh masyarakat?
Perspektif 'Iklan Marjan' terhadap Iklan Ramadan Lainnya
Setiap kalangan masyarakat memiliki selera yang berbeda-beda. Alasannya, karena selera tidak datang begitu saja dari sananya atau sesuatu yang diberikan ke dalam diri seseorang, seperti halnya bakat. Filsuf Immanuel Kant dan David Hume mengembangkan sebuah pemikiran bahwa selera merupakan perkara subjektivitas dan privat, artinya selera memang hanya bisa dirasakan oleh si individu tersebut.
Selain bertemakan bulan Ramadan, iklan Marjan juga mencoba menghubungkan segala cerita masyarakat kedalam alur ceritanya sehingga pesan dari ceritanya begitu berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat. Nantinya, setiap cerita yang diangkat akan dibaluti pemasaran produk Marjan. Dalam perspektif ini, Marjan tidak hanya mencoba menjual produk minuman untuk merayakan Ramadan, tetapi menjual kenangan bersama kerabat terdekat sambil merayakan bulan suci bersama.
Blaine Pascal, merupakan seorang filsuf di era modern, mencoba memahami keindahan yang dicari oleh masyarakat. Menurut pemikirannya, keindahan bukan perkara proporsi dalam karya, melainkan soal imajinasi pemirsa. Dari pemikiran inilah muncul konsep bahwa perkara menilai suatu karya seni bersifat subjektif.
Selain Blaine Pascal, terdapat seorang filsuf abad pencerahan yang memiliki perbedaan pendapat soal keindahan, yaitu Gottfried Wilhelm Leibniz. Leibniz mengatakan bahwa, perasaan manusia mampu mempersepsi keindahan, tetapi akal atau rasio manusia tidak sedemikian. Sebabnya keindahan tidak dapat dipersepsi oleh akal. Menurut Leibniz, keindahan suatu karya seni tidak dapat dimengerti sepenuhnya karena apa yang bekerja bukan kognisi manusia, melainkan selera yang dibentuk oleh kebiasaan, kebudayaan, dan segenap pengalaman masing-masing individu sehari-hari yang berbeda-beda.
Memahami pemikiran dari kedua filsuf mengenai nilai estetika memberikan perdebatan tiada penyelesaian. Memang, perdebatan ini bisa diambil dari beberapa perspektif, baik itu ceritanya, gaya penokohan, latar cerita, maupun pemilihan efek warna dalam iklan tersebut. Namun, keindahan yang dimaksud dari kedua tokoh filsuf tersebut adalah adanya korelasi antara pesan dengan pengalaman masyarakat.
Entah bagaimana, adanya persamaan dalam cerita iklan Marjan di bulan Ramadan begitu dengan pengalaman masing-masing individu penonton. Sehingga para penonton juga bisa merasakan pengalaman dari cerita yang diangkat secara tidak langsung. Apalagi, di bulan Ramadhan ini begitu banyak iklan yang menggunakan unsur-unsur kebaikan di Bulan Ramadan, tetapi tidak ada yang sedekat Iklan Marjan.
David Hume, seorang filsuf aliran empirisme asal Inggris yang mengeluarkan buku "Of The Standard of Taste," menjelaskan bahwa keindahan suatu objek dipengaruhi oleh selera masing-masing. Hume menyimpulkan bahwa keindahan hanya ada dalam diri subjek dan bukan sifat objektif karya seni itu. Bahkan, selera dapat terbentuk melalui dua tahap, yaitu tahap persepsi dan afeksi (Suryajaya, 2015).
Bermula dari fase persepsi, dimana manusia menyerap semua kualitas pada sebuah karya seni. Selanjutnya, melalui tahap afeksi, manusia merasakan keindahan atau keburukan karya tersebut. Pada fase ini, manusia dapat mengapresiasi dan mengkritisi sebuah karya seni dari segala aspek yang terlihat.
Adanya sebuah apresiasi dan kritik berasal dari keresahan dan gangguan dari sebuah karya seni. Dalam konteks iklan Marjan, masyarakat dapat menikmati iklan Marjan di media televisi dan media sosial dengan kualitas gambar dan alur cerita yang menarik. Bahkan, dengan kualitasnya segitu, iklan ini mampu memberikan representasi pesan yang berbeda-beda kepada para penonton.
Sebuah penafsiran pesan merupakan hasil dari kejujuran para penikmat dalam mengamati sebuah karya seni. Di dalam iklan Marjan, masing-masing masyarakat memiliki pesan yang terbentuk dari hasil imajinasinya, baik dari perspektif Ramadhan maupun keluarga.
Saya pun berkesempatan mewawancarai beberapa orang yang sering menonton iklan Marjan di televisi. Tentunya, masing-masing narasumber memiliki jawaban yang berbeda-beda. Hafizh Adit merupakan seorang mahasiswa yang dalam kesehariannya selalu mengamati iklan Marjan di Bulan Ramadhan.
"iklan Marjan di bulan Ramadhan mengingatkan bahwa pentingnya memiliki keluarga. Selain itu, iklan ini meninggalkan sebuah ciri khas bahwa sudah menandakan bulan Ramadhan," Ucap Adit.
Pemikiran Hume soal tahap afeksi itu benar adanya. Terjadi perbedaan penafsiran pesan atas sebuah karya seni. Disini masing-masing narasumber mencoba menafsirkan sebuah pesan dari iklan Marjan dengan perspektifnya masing-masing. Karena para penonton dapat merasakan keindahannya secara langsung.
Iklan Marjan mulai diikuti oleh merek lainnya dalam mempromosikan produknya di masa lebaran. Bisa dikatakan, Marjan mempelopori sebuah promosi produk yang dikemas dengan cerita yang unik.
Menurut saya, iklan Marjan memberikan perspektif baru soal mempromosikan produk dengan bertemakan Ramadan. Marjan mengizinkan setiap penontonnya untuk berimajinasi atas pesan dari iklan mereka sehingga masing-masing dapat merepresentasikan hal berbeda. Bagi saya, iklan Marjan mencoba menceritakan soal kejujuran dan berbagi kepada sesama pada setiap saat, tidak hanya Ramadan.