Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Guru

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Old and New; Ragam Jalan Berbagi

8 Mei 2020   15:50 Diperbarui: 8 Mei 2020   16:14 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penduduk desa mengenal kebiasaan "Beas Paralak". Istilah dalam Bahasa Sunda ini berkaitan dengan kegiatan berderma warga yang dilakukan secara kolektif. Beas berarti beras, sedangkan paralak mengacu pada tiruan bunyi suara hujan yang turun di atas genteng. Hujan saparalak, mengandung  makna hujan yang turun tidak besar dan waktunya relatif sebentar. Beas paralak mengandung makna beras yang banyaknya segenggam tangan sebagai sedekah yang diberikan secara rutin.

Pengurus warga yang mengumpulkan beras sumbangan itu secara rutin. Berkeliling kampung menyambangi rumah demi rumah warga. Dengan berkeliling ia sekaligus memantau keadaan warganya. Mana warga yang sedang dalam kesulitan, mana warga yang baik-baik keadaannya. Bagi warga yang dalam kesulitan, dapat memperoleh penyaluran beras hasil urunan tersebut.

Budaya "Beas Paralak" pupuler pada masa dahulu. Generasi zaman sekarang banyak yang tidak mengenalnya. Disamping itu, budaya tersebut berlaku secara lokal di tatar Sunda. Mungkin warga di tempat lain memiliki istilah tersendiri dalam semangat berbagi ini. Budaya bangsa kita, gotong royong, saya yakin meresap di setiap jiwa anak bangsa. Apa pun suku bangsanya semangat itu akan senantiasa berkobar.

Di masa pandemi ini, kebiasaan "Beas Paralak" kembali dihidupkan. Adalah ketua RT di tempat tinggal saya yang menelurkan ide ini. Melalui grup WA warga, ia menyampaikan idenya. Gayung bersambut, warga merasa senang dan mendukung gagasan Pak RT. Sehari setelah digulirkan, Pak RT mulai berkeliling mengambil beras dari warga. Ada yang mengemasnya dalam kantung-kantung plastik, ada yang di dalam gelas. Ada salah satu warga yang mengemasnya dalam bilah bambu yang dirancang khusus, mengingatkan romantisme beas perelek di kampung halaman.

Semangat berbagi antar warga melandasi diputarnya kembali kegiatan Beas Paralak ini. Dengan menyisihkan sebagian kecil dari beras yang akan dimasak, warga tidak merasa terbebani. Dari jumlah yang terbilang sedikit ini akan terkumpul menjadi banyak bila dihimpun. Pada tahap awal, beras yang terkumpul telah disalurkan kepada warga yang membutuhkan.


Berbagi dengan sesama merupakan panggilan jiwa setiap manusia. Budaya berbagi beras yang saya ungkapkan tadi merupakan satu dari sekian banyak cara berbagi. Dalam kesempatan yang lain, mungkin semangat berbagi ini telah tanpa sadar kita lakukan. Naluri kita langsung memancarkan sinyalnya saat mendapati orang yang perlu kita bantu.


Ada saat ketika kita melihat anak-anak usia SD berkeliling kampung menjajakan makanan kecil. Kita pun terdorong untuk membeli dagangannya, dengan sedikit memberi lebih dari harga yang ia tawarkan. 

Saat kita memotong rambut, atau saat berhadapan dengan orang di kampung kita yang bekerja serabutan, hati kita terenyuh untuk memberinya sedikit dari rezeki yang kita miliki. Kita terbiasa memberikan uang kembalian kepada Abang pemotong rambut. Kita pun tanpa beban memberi sejumlah uang saat orang di kampung yang bekerja serabutan itu menawarkan tenaganya untuk memotong rumput di halaman rumah.

Berbagi bila telah menjadi kebiasaan tidaklah memberatkan. Karena berbagi adalah fitrah yang disematkan Tuhan kepada setiap makhluk hidup. Bila Harimau dan Singa "Si Raja Hutan" saja memiliki rasa berbagi. Bila burung Pipit yang kecil saja tak lupa membawa pulang seekor cacing untuk anak-anaknya, apalah artinya kita sebagai manusia bila tak sanggup untuk berbagi.

Dalam kebiasaan berbagi akan terbangun rasa kasih sayang. Rasul yang mulia bersabda dalam hadisnya yang sahih, "Tahaddu tahabbu". Saling memberilah kalian agar saling mencintai. Berbagi tidaklah membuat harta yang kita miliki  berkurang. Sebaliknya, harta kita akan bertambah berlipat ganda. Dalam hadis yang lain, Rasul yang mulia menegaskan bila sedekah yang kita keluarkan akan mendapat balasan lebih cepat dari ayunan pedang ke leher unta.

Berbagi yang saya lakukan mungkin tidaklah seberapa secara kuantitas. Akan tetapi, dalam setiap langkah berbagi itu saya yakin terbangun rasa bahagia yang tak ternilai. Berbagi akan membuat bahagia si pemberi. Begitu pula, berbagi membangkitkan rasa gembira si penerima. Karena berbagi lebih jauh telah membangun jembatan kebahagiaan antara kedua pihak. Berbagi kita yakini adalah satu dari banyak cara untuk menyambungkan kebahagiaan, "Connecting happines".

Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun